The Shattered Light-Chapter 148: – Bayangan yang Menyebar
Kabut Wellspring belum sepenuhnya sirna saat Kaelen berdiri di puncak bukit kecil di luar desa.
Di bawah sana, orang-orang mulai memperbaiki pagar, memperkuat gerbang, dan membangun menara pengawas.Rakyat yang kemarin ketakutan kini mulai bergerak dengan tujuan baru.
Namun di dalam dada Kaelen, rasa lega bercampur gelisah.
Ia merasakan sesuatu...Sesuatu yang lebih gelap dari sekadar ancaman Ordo Cahaya.
Lyra mendekatinya, menyampirkan mantel di bahu Kaelen.
"Kau kedinginan," katanya singkat.
Kaelen mengangguk, tapi tatapannya tetap ke kejauhan.
"Aku merasa ada sesuatu yang salah, Lyra," gumamnya.
Lyra menghela napas, berdiri di sampingnya.
"Kita baru saja menang. Setidaknya beri dirimu waktu untuk bernapas."
Kaelen tersenyum kecil—senyum yang tidak mencapai matanya.
"Menang dalam satu pertempuran... bukan berarti memenangkan perang."
Langkah-langkah cepat terdengar dari belakang. Serina muncul, wajahnya tegang.
"Kaelen. Ada tamu."
Kaelen berbalik.
Seorang pria tinggi berjubah kelabu menunggu di tepi jalan, dikelilingi oleh tiga penjaga Wellspring.
Kaelen mendekat perlahan.
"Siapa kau?" tanyanya tajam.
Pria itu menundukkan kepala.
"Namaku Darven. Aku datang bukan membawa ancaman... tapi peringatan."
Alden, yang baru tiba dari penjagaan, mendengus.
"Biasanya yang membawa ’peringatan’ juga membawa belati di balik punggung."
Darven tersenyum tipis.
"Boleh saja menganggap begitu."
Kaelen mengerutkan kening.
"Bicara."
Darven menatap mereka satu per satu, seolah menimbang-nimbang.
"Ordo Cahaya... bukan lagi satu-satunya ancaman. Ada faksi baru. Lebih rahasia. Lebih berbahaya."
Serina menyilangkan tangan.
"Nama?"
Darven menghela napas.
"Mereka menyebut dirinya Ashen Dawn. Mereka tidak peduli siapa yang berkuasa—Cahaya, Kegelapan, atau yang lain. Mereka hanya ingin membakar semuanya dan membangun ulang dari abu."
Kaelen merasakan tengkuknya menegang.
"Apa hubungannya dengan kami?"
Darven berbicara pelan.
"Mereka mengincarmu. Kau simbol harapan baru. Jika kau jatuh... semua ini jatuh."
Lyra mencengkeram gagang pedangnya.
"Bukti?"
Darven mengeluarkan gulungan perkamen dari dalam jubahnya, menyerahkannya kepada Kaelen.
Kaelen membukanya.
Sebuah daftar nama.Nama para pemimpin gerilya yang membantu mereka... sebagian besar sudah mati, dibunuh dalam penyergapan ’kebetulan’.
Nama Kaelen tertera di puncak daftar.Ditandai dengan tinta merah.
"Mereka sudah mengincarmu sejak dulu," kata Darven pelan. "Hanya masalah waktu sebelum mereka menyerangmu secara terbuka."
Hening menyelimuti udara.
Alden mengutuk pelan.
"Seakan-akan Ordo Cahaya belum cukup."
Kaelen menggulung perkamen itu perlahan.
"Apa yang kau inginkan, Darven?"
Darven mengangkat kedua tangan.
"Aku hanya memperingatkan. Pilihan ada di tanganmu."
Ia berbalik untuk pergi.
"Tunggu," seru Kaelen.
Pria itu menoleh, satu alis terangkat.
"Jika kau tahu banyak tentang mereka... maka kau tahu di mana harus mulai mencari mereka."
Darven tersenyum samar.
"Carilah di tempat di mana abu lama belum sepenuhnya dingin."
Dan dengan itu, dia menghilang ke dalam kabut.
Di balai desa, mereka berkumpul.
Alden meledak duluan.
"Ini jebakan! Kita baru saja mendapat dukungan Wellspring, dan sekarang mau mengejar bayangan?!"
Serina mengangguk setengah setuju.
"Kita belum siap. Orang-orang butuh stabilitas."
Lyra, bagaimanapun, berbicara pelan.
"Tapi kalau Ashen Dawn benar-benar ada... mereka bisa menghancurkan kita sebelum kita siap."
Semua mata beralih ke Kaelen.
Ia duduk di ujung meja, menatap peta yang terbentang.
Pikirannya berputar.
Keputusan ini bukan hanya tentang dia.
Ini tentang semua orang yang mempercayainya.
"Kita tak bisa duduk diam," katanya akhirnya. "Kita harus mencari mereka... dan menghentikan mereka sebelum mereka menghentikan kita."
Suara itu tidak mengizinkan bantahan.
Saat malam turun, Kaelen berdiri di depan api unggun kecil bersama Lyra dan Serina.
Mereka mengikat perlengkapan, mempersiapkan perjalanan esok hari.
"Kau yakin ini bijaksana?" tanya Serina sambil mengencangkan sabuknya.
Kaelen memandang langit malam, bintang-bintang tersembunyi di balik awan gelap.
"Tidak," jawabnya jujur. "Tapi kadang, kita tidak diberi pilihan bijaksana."
Lyra tersenyum kecil, melemparkan kantung kecil ke arah Kaelen.
"Kalau begitu, setidaknya kita buat pilihan bodoh ini bersama."
Kaelen menangkap kantung itu—berisi rempah penyembuh dan secarik kain dari Wellspring, hadiah sederhana dari rakyat yang percaya pada mereka.
Dalam hati, Kaelen berjanji:Apa pun yang terjadi, aku tidak akan membiarkan harapan ini mati.
Tidak di tangan Ordo Cahaya.Tidak di tangan Ashen Dawn.Tidak di tangan siapa pun.