The Shattered Light-Chapter 181: – Tanah yang Terluka Tapi Bernyawa

If audio player doesn't work, press Reset or reload the page.
Chapter 181: – Tanah yang Terluka Tapi Bernyawa

Elvarin tidak bersorak.

Tidak ada sorakan kemenangan, tak ada nyanyian pahlawan. Hanya angin yang membawa aroma tanah terbakar dan bayangan masa lalu yang terlalu berat untuk dilupakan.

Kaelen duduk di tepi reruntuhan pilar tua, telapak tangannya berlumur darah Varkesh—bukan karena ia membunuh, tapi karena ia memilih untuk tidak. Di sampingnya, Lyra membungkus luka di lengannya sendiri dengan sobekan jubah.

“Aku tak tahu apakah yang kita lakukan barusan... benar,” gumam Kaelen. 𝓯𝓻𝒆𝙚𝒘𝓮𝙗𝓷𝒐𝓿𝙚𝒍.𝙘𝓸𝙢

Lyra memandangnya. “Benar dan salah sudah jadi mata uang yang nyaris tak berlaku, Kaelen. Yang kita punya tinggal konsekuensi.”

Kaelen menatap tangannya, lalu ke langit yang mulai merekah merah. “Varkesh menyerah. Tapi lihat tempat ini. Tak ada yang kembali utuh. Bahkan aku.”

“Justru karena itu dia menyerah,” Lyra menatapnya. “Dia melihat seseorang yang dulu ia benci, kini berdiri di hadapannya—penuh luka, tapi menolak berubah menjadi dirinya.”

Langkah kaki mendekat. Alden muncul dengan napas terengah, membawa sekelompok kecil penyintas yang mengenakan lambang pasukan Kegelapan.

“Mereka menyerah,” kata Alden, menunjuk para tentara itu. “Bilang mereka dengar sendiri duelmu dengan Varkesh. Mereka tak mau bertarung lagi.”

Salah satu tentara itu, seorang wanita dengan rambut kusut dan wajah penuh debu, melangkah maju. “Kami ikut Varkesh karena kami percaya dunia butuh tangan kuat... tapi tanganmu hari ini justru berhenti ketika bisa menghancurkan. Itu bukan kelemahan. Itu... perlawanan terakhir.”

Kaelen menatapnya kosong.

“Nama saya Malen,” lanjutnya. “Dan jika kau bersedia... kami akan ikut menata ulang tanah yang porak-poranda ini.”

Lyra menoleh ke Kaelen. “Lihat? Bahkan tanah terluka pun masih bisa menumbuhkan benih baru.”

Kaelen mengangguk lemah. “Tak ada lagi pasukan. Tak ada lagi takhta. Kita hanya punya reruntuhan. Tapi kalau kalian bersedia membangun... maka aku akan ikut menggali pondasinya.”

Malam itu, di kamp sementara dekat reruntuhan Elvarin, mereka menyalakan api unggun pertama. Bukan untuk perang, tapi untuk menghangatkan tubuh-tubuh yang selama ini terbiasa dingin kebencian.

Lyra duduk berdampingan dengan Kaelen, sementara Alden membagi-bagikan sup dari kuali tua. Malen mengajari anak-anak membuat tenda dari puing-puing yang ditemukan.

“Dulu, di kamp latihan Ordo, kami diajari untuk membakar kota yang tak mau tunduk,” ujar Malen pelan. “Tapi tak ada satu pun dari kami yang diajari membangun kembali apa pun.”

Kaelen menatap api. “Mungkin kita semua murid yang terlambat belajar.”

“Kalau begitu,” sahut Alden, “anggap saja ini kelas pertama.”

Tawa pelan terdengar dari para bekas tentara. Tawa yang asing, canggung, tapi nyata.

Lalu Lyra menyodorkan secarik kain kecil pada Kaelen. “Aku menyimpan ini sejak dulu.”

Kaelen membukanya. Di dalamnya ada potongan pita merah, usang tapi utuh.

“Serina memakainya saat kita menyelamatkan desa pertama. Waktu itu kau tak sadar, tapi dia meletakkannya di pergelangan tanganmu saat kau tidur.”

Kaelen menggenggam pita itu pelan.

“Tak semua kenangan bisa kau bawa kembali,” kata Lyra. “Tapi beberapa bisa ditemukan kembali... dalam bentuk lain.”

Kaelen menatap pita itu. “Aku tak ingat... tapi aku percaya padamu.”

Lyra mengangguk. “Itu cukup.”

Tengah malam, saat semua tertidur, Kaelen berjalan sendiri ke reruntuhan aula pusat Elvarin. Ia berdiri di tengah panggung yang dulu menjadi tempat pengumuman kerajaan.

Lalu, suara familiar terdengar—seperti gema dari pikirannya sendiri.

“Kau kira ini cukup?”

Kaelen menoleh. Eryon berdiri dalam bayangannya sendiri, wajahnya suram, tubuhnya seperti ilusi.

“Eryon.”

“Kaelen,” sahutnya pelan. “Kau menahan kekuatanmu hari ini. Tapi berapa lama lagi kau bisa bertahan? Dunia ini belum selesai memanggil darahmu.”

Kaelen menggeleng. “Aku tidak ingin jadi dewa. Aku ingin jadi manusia.”

“Dan manusia mudah terluka,” gumam Eryon. “Aku dulu juga begitu. Lalu aku memilih menjadi monster karena dunia terus menyayatku.”

Kaelen mendekat. “Tapi sekarang kau datang sebagai bayangan. Apa itu yang kau pilih?”

Eryon terdiam. “Aku datang... untuk memperingatkanmu. Di utara, di reruntuhan Volcair—Relik terakhir masih berdenyut. Sesuatu bangkit. Dan jika kau tidak siap...”

Kaelen menatapnya tajam. “Aku akan siap. Tapi kali ini, aku tak akan sendiri.”

Eryon tersenyum pahit. “Semoga kau benar. Karena terkadang... yang datang bukan lagi kegelapan. Tapi cermin dari dirimu sendiri.”

Dan ia menghilang.

Kaelen berdiri sendiri. Tapi kali ini, kesendirian itu tak lagi menakutkan.

Esok pagi, langkah-langkah pertama menuju perdamaian akan dimulai.

Tapi malam ini, Elvarin kembali bernapas.