The Shattered Light-Chapter 38: – Bayangan di Balik Hujan
Chapter 38 - – Bayangan di Balik Hujan
Malam perlahan bergulir menjadi dini hari, ketika hujan tipis mulai membasahi perkemahan Balrik. Rintik-rintik air jatuh lembut di atas tenda-tenda lusuh dan tanah yang mulai berubah menjadi lumpur. Kaelen berdiri di tepi perkemahan, menatap kelamnya hutan yang akan mereka lalui malam ini. Udara dingin menusuk, namun itu bukan hal yang mengganggunya. Apa yang lebih membebani pikirannya adalah kemungkinan kegagalan misi ini.
Rhal datang menghampirinya, mengenakan mantel tebal dengan tudung yang menutupi sebagian besar wajahnya. "Orang-orangku sudah bersiap," katanya singkat. Mata tajamnya menelisik Kaelen, seolah memastikan anak muda itu tidak goyah.
Kaelen mengangguk. "Kita mulai bergerak dalam satu jam. Pastikan mereka paham peran masing-masing. Gangguan di barat harus tepat waktu. Kalau tidak, kita terperangkap."
"Aku tahu," sahut Rhal dingin. "Aku tak ingin mati konyol di tempat ini."
Follow curr𝒆nt nov𝒆ls on fɾeeweɓnѳveɭ.com.
Setelah Rhal berlalu, Serina dan Lyra menghampiri Kaelen. Wajah mereka tampak cemas di bawah cahaya samar obor.
"Apa kau yakin dengan rencana ini?" tanya Serina, suaranya lirih.
Kaelen mencoba tersenyum, meskipun ia sendiri masih ragu. Hatinya berdenyut dengan ketakutan yang tak terkatakan. Dadanya terasa sesak, tangannya sedikit gemetar meskipun ia berusaha menyembunyikannya. Pikirannya berputar pada segala kemungkinan buruk—pembantaian, kegagalan, atau kehilangan mereka yang ia sayangi. Namun, ia menekan semua itu ke dalam, berharap senyum tipisnya cukup untuk menenangkan Serina dan Lyra. "Tidak ada yang pasti. Tapi ini peluang terbaik kita. Aku harus mencobanya."
Lyra menyentuh lengan Kaelen perlahan. "Kalau sesuatu terjadi... kembalilah. Jangan paksakan dirimu. Kami butuh kau, Kaelen."
Kaelen merasakan sentuhan itu seperti pengingat akan sisi kemanusiaannya yang kerap terlupakan di medan perang. Ia menatap Lyra sejenak, lalu Serina. "Aku berjanji akan kembali."
Waktu berlalu, dan saat yang dinantikan tiba. Kaelen memimpin tim kecilnya yang terdiri dari lima orang, termasuk dua prajurit Balrik yang tampak cekatan. Rhal dan pasukannya bergerak lebih dahulu ke arah barat untuk menciptakan pengalihan.
Mereka menyusuri jalan setapak sempit, menyelinap di antara pepohonan lebat yang basah karena hujan. Tanah berlumpur memperlambat langkah, namun mereka tetap maju dengan hati-hati. Setiap suara ranting patah membuat Kaelen menegang. Ia tahu, satu kesalahan saja bisa berujung maut.
Saat mendekati pos penjaga, Kaelen memberi isyarat berhenti. Ia mengamati situasi dari balik semak-semak. Menara penjaga menjulang di kejauhan, dengan dua prajurit Ordo berpatroli. Gerbang kayu besar terkunci rapat, dijaga oleh tiga orang prajurit bersenjata tombak.
Kaelen menunggu tanda dari Rhal. Beberapa menit berlalu, lalu terdengar suara ledakan kecil dari arah barat, disusul teriakan dan gemuruh langkah kaki. Para penjaga di pos mulai panik. Dua dari tiga prajurit di gerbang bergegas menuju sumber suara.
"Sekarang," bisik Kaelen.
Mereka merayap keluar dari persembunyian, mendekati gerbang dengan hati-hati. Kaelen dan dua orang lainnya menghabisi penjaga yang tersisa dengan cepat dan senyap. Darah mengalir di bawah rintik hujan.
Kaelen mendekati palang gerbang. Ia bersama seorang prajurit berusaha mengangkatnya perlahan. Kayu basah itu berat dan berderit pelan, membuat jantung Kaelen berpacu lebih cepat. Dalam sekejap, gerbang mulai terbuka.
Dari kejauhan, Rhal dan pasukannya melihat gerbang terbuka dan segera menerjang masuk. Pertempuran pun pecah. Kaelen mencabut pedangnya, menghalau serangan dari prajurit Ordo yang menyadari penyusupan itu. Denting logam beradu di tengah hujan, teriakan kesakitan bercampur dengan suara derasnya air.
Kaelen bertarung mati-matian. Setiap ayunan pedang adalah perjuangan untuk hidup. Di sela-sela pertempuran, ia melihat Rhal bertarung dengan gagah, memimpin pasukannya menembus pertahanan musuh.
Namun, Kaelen tahu perasaan ini. Perasaan di ambang batas. Tubuhnya mulai lelah, dan bisikan itu kembali. Kekuatan gelap di dalam dirinya memanggil, menawarkan kekuatan instan untuk mengakhiri semua ini. Ia menolak, tetapi dorongan itu semakin kuat.
Saat seorang prajurit Ordo hampir menebasnya dari belakang, Kaelen refleks mengayunkan pedangnya dengan kekuatan lebih besar dari biasanya. Tubuh lawannya terhempas jauh, tak wajar untuk ukuran tenaga manusia biasa. Rekan-rekan Kaelen yang berada di dekatnya sempat terpaku sejenak. Salah satu prajurit Balrik menatapnya dengan alis terangkat, sementara yang lain melirik dengan ekspresi bingung dan cemas. Rhal, yang sedang bertarung di sisi lain, sempat melirik ke arah Kaelen dengan tatapan penuh selidik, namun segera kembali fokus pada lawannya. Kaelen menyadari reaksi mereka, membuatnya semakin waspada akan kekuatan yang baru saja ia gunakan. Kaelen terhuyung, napasnya terengah. Ia tahu apa yang baru saja terjadi.
Misi itu berhasil. Pos utara jatuh ke tangan mereka. Namun, saat Kaelen berdiri di tengah darah dan mayat, ia merasa ada sesuatu yang mulai hilang lagi dalam dirinya. Ia mencoba mengingat suara ibunya—tetapi semakin ia berusaha, semakin samar suara itu. Sekilas, ia terbayang momen ketika ibunya menyanyikan lagu pengantar tidur di samping perapian rumah mereka. Suara lembut itu dulu membuatnya merasa aman, hangat dalam pelukan kasih sayang. Namun, kini nada-nada itu terdengar jauh, seolah tertutup kabut tebal yang tak bisa ditembus. Kaelen menggenggam pedangnya lebih erat, menyadari bahwa bagian dari dirinya kembali terkikis.
Rhal mendekat, menepuk bahunya. "Kau melakukannya lagi, Kaelen. Kau punya jiwa pemimpin."
Kaelen mengangguk, tetapi di dalam hatinya, ia merasa kosong.
Di kejauhan, tersembunyi dalam bayangan pohon, Eryon menyaksikan semuanya. Senyum kecil terukir di wajahnya. Ia tahu, Kaelen semakin dekat dengan batasnya. Dan saat itu tiba, Eryon akan ada di sana untuk menyambutnya.