The Shattered Light-Chapter 60: – Langkah Menuju Kegelapan

If audio player doesn't work, press Reset or reload the page.

Chapter 60 - – Langkah Menuju Kegelapan

Matahari mulai tenggelam di balik pepohonan, meninggalkan langit berwarna jingga keemasan yang perlahan memudar menjadi kelam. Kaelen, Lyra, dan Varrok terus berjalan menyusuri jalan setapak di hutan, setiap langkah mereka penuh kewaspadaan setelah hampir tertangkap oleh pasukan Ordo Cahaya sebelumnya.

"Menurut kepala desa, ada sebuah reruntuhan di selatan yang bisa kita gunakan sebagai tempat berlindung," ujar Varrok sambil melirik peta usang di tangannya. "Tapi kita harus sampai sebelum malam semakin larut."

Kaelen mengangguk tanpa berkata apa-apa. Namun, ada sesuatu yang mengusiknya. Bayangan di bawah pepohonan tampak lebih pekat, lebih hidup. Ia menoleh sekilas, dan untuk sepersekian detik, ia merasa bayangan itu bergerak mengikuti langkahnya. Dalam dirinya, konflik batin terus berkecamuk. Rasa sakit di kepalanya belum hilang sepenuhnya, dan suara samar dari mimpinya terus bergema di benaknya. Apakah benar bagian dari dirinya mencoba kembali, seperti yang dikatakan Lyra?

Follow curr𝒆nt nov𝒆ls on fɾeeweɓnѳveɭ.com.

"Kaelen," Lyra memanggilnya lembut, menyadari keheningan yang semakin panjang di antara mereka. "Kau tidak baik-baik saja."

Kaelen menghela napas. "Aku hanya lelah."

"Kita semua lelah," sahut Lyra cepat. "Tapi ini bukan hanya karena perjalanan ini, bukan?"

Kaelen berhenti melangkah, tatapannya dingin. "Apa yang kau ingin aku katakan, Lyra? Bahwa aku ketakutan? Bahwa aku merasa seperti kehilangan diri sendiri setiap hari? Bahwa aku bahkan tidak tahu apakah aku masih manusia atau hanya bayangan yang tersisa?"

Lyra terpaku. Ia tidak pernah mendengar Kaelen berbicara dengan nada seputus asa ini.

"Kau bukan bayangan," kata Lyra dengan tegas. "Kau masih Kaelen. Aku tidak peduli berapa banyak yang telah kau lupakan—aku akan tetap berada di sini untuk mengingatkanmu siapa dirimu."

Sebelum Kaelen sempat membalas, Lyra menggenggam busurnya lebih erat. 'Aku merasa kita sedang diawasi,' bisiknya pelan. Varrok menyipitkan mata, memperhatikan gerakan di semak-semak. Lalu, tiba-tiba, dari kejauhan, terdengar suara geraman rendah, seperti sesuatu yang lapar menunggu momen yang tepat untuk menyerang. Varrok segera mengangkat tangannya, memberi isyarat agar mereka waspada. Dalam sekejap, bayangan-bayangan mulai bermunculan dari kegelapan. Mata kuning bersinar di antara pepohonan, mengintai mereka.

"Serigala bayangan," bisik Varrok. "Makhluk pemburu yang biasanya hanya berkeliaran di daerah terlarang."

Kaelen segera menarik pedangnya, dan Lyra menyiapkan busurnya. Serigala-serigala itu perlahan bergerak maju, mengelilingi mereka. Jumlah mereka lebih banyak dari yang diduga.

"Jangan buat gerakan tiba-tiba," ujar Varrok perlahan. "Mereka menyerang jika merasa terancam."

Salah satu serigala melompat ke arah Kaelen dengan kecepatan luar biasa. Refleksnya langsung bekerja—ia mengayunkan pedangnya, menebas makhluk itu dalam satu gerakan cepat. Namun, begitu darah serigala menyentuh tanah, makhluk lain mengeluarkan raungan ganas, dan dalam hitungan detik, mereka menyerang serempak.

Pertempuran pun pecah.

Kaelen bergerak dengan cepat, menebas serigala yang menerjangnya. Namun, tiba-tiba, rasa nyeri mendadak menusuk kepalanya, membuatnya sedikit goyah. Pikirannya terasa terkikis, seolah ada sesuatu yang sedang dicabut paksa dari ingatannya. Lyra melepaskan anak panah bertubi-tubi, menargetkan titik lemah di tenggorokan dan mata makhluk-makhluk itu. Varrok, dengan kapaknya yang besar, menahan serangan dari dua serigala sekaligus.

Namun, semakin mereka bertarung, semakin Kaelen merasakan sesuatu di dalam dirinya berubah. Gerakannya menjadi lebih cepat, matanya menangkap pergerakan lawan dengan presisi yang tak biasa. Ia bisa merasakan bayangan di sekitarnya bergerak, seolah merespons keberadaannya.

Saat salah satu serigala melompat ke arahnya, ia secara naluriah mengulurkan tangannya—dan tiba-tiba, bayangan di tanah merayap, mencengkeram makhluk itu di udara sebelum menghancurkannya dalam kegelapan.

Kaelen terengah-engah, menatap tangannya yang bergetar. Saat bayangan mencengkeram serigala itu dan menelannya ke dalam kegelapan, rasa nyeri yang luar biasa menusuk kepalanya. Ia tersentak, seolah ada sesuatu yang direnggut darinya. Dalam benaknya, ada kilasan wajah seseorang—seorang gadis dengan mata tajam dan senyum samar. Tapi sebelum ia bisa mengingatnya, gambaran itu lenyap, tersapu ke dalam kehampaan.

"Apa yang kau lakukan?" suara Lyra terdengar panik. "Kaelen, kau menggunakan kekuatan itu lagi!"

Kaelen tidak menjawab. Ia hanya menatap ke arah serigala yang kini lenyap dalam kehampaan. Tetapi lebih dari itu, ada sesuatu yang lain yang kini menghilang dari benaknya. Sebuah ingatan. Sebuah nama.

Ia menggertakkan giginya, kepalanya terasa semakin berat. Lyra mendekatinya, ekspresi cemas tergambar jelas di wajahnya.

"Katakan sesuatu," desaknya. "Kaelen, apa yang kau ingat?"

Kaelen menggeleng perlahan. "Aku... aku tidak tahu."

Varrok menghela napas berat. "Kita tidak bisa tinggal di sini. Kita harus pergi sebelum lebih banyak makhluk datang."

Mereka melanjutkan perjalanan, tetapi kini Kaelen merasa lebih kosong dari sebelumnya. Saat mereka melangkah lebih jauh ke dalam kegelapan hutan, Kaelen merasakan sesuatu yang mengawasinya dari dalam bayangan. Bukan serigala, bukan pasukan Ordo Cahaya. Tapi sesuatu yang jauh lebih dalam. Dan untuk pertama kalinya, ia merasa takut pada dirinya sendiri. Semakin ia bertarung, semakin banyak yang menghilang. Namun, ada satu hal yang kini ia sadari sepenuhnya.

Bayangan bukan hanya kekuatannya.

Bayangan kini adalah dirinya.