The Shattered Light-Chapter 62: – Bayang-Bayang Masa Lalu
Chapter 62 - – Bayang-Bayang Masa Lalu
Kaelen mengusap wajahnya, merasakan dinginnya keringat di pelipisnya. Dadanya naik turun, napasnya tersengal, seolah ia baru saja kembali dari jurang kehampaan. Namun, di dalam pikirannya, suara gadis itu masih terngiang, menolak untuk menghilang. Lyra dan Varrok menunggu dengan penuh perhatian, tetapi Kaelen hanya bisa menggenggam kepalanya. Ingatan itu—atau apa pun yang baru saja ia lihat—terasa begitu nyata, namun tetap kabur seperti bayangan yang tak dapat ia genggam.
"Kaelen," suara Lyra lembut, penuh kekhawatiran. "Apa yang kau ingat?"
Kaelen mengangkat kepalanya, menatap api unggun yang menyala kecil di antara mereka. "Aku melihat seseorang... seorang gadis. Tapi aku tidak tahu siapa dia."
The most uptodate nove𝙡s are published on frёewebnoѵel.ƈo๓.
Lyra dan Varrok bertukar pandang. Varrok kemudian bersandar ke dinding reruntuhan, ekspresinya berpikir dalam. "Gadis itu mengatakan sesuatu padamu?"
Kaelen mengangguk perlahan. "Dia bilang... aku kehilangan sesuatu setiap kali aku menggunakan kekuatanku. Dan jika aku terus seperti ini, aku akan kehilangan segalanya."
Suasana menjadi lebih berat. Lyra menggenggam erat busurnya, matanya menunjukkan ketakutan yang ia coba sembunyikan. "Kaelen, kau tahu apa artinya itu, bukan? Jika kau terus memakai kekuatanmu..."
"Aku tahu." Kaelen menyela, suaranya lebih dingin dari yang ia maksudkan. "Tapi apa pilihanku? Tanpa kekuatan ini, aku tidak akan bisa melawan Ordo Cahaya."
"Dan dengan kekuatan itu, kau tidak akan bisa tetap menjadi dirimu sendiri."
Keheningan panjang menyelimuti mereka. Hanya suara kayu terbakar yang terdengar, berderak pelan. Kaelen menatap ke langit malam yang gelap, pikirannya penuh dengan pertanyaan yang tidak bisa ia jawab.
Tiba-tiba, angin bertiup lebih kencang, membawa serta desiran aneh yang terdengar seperti bisikan. Api unggun mereka bergetar, nyala apinya berkelip tak menentu. Dari kegelapan, terdengar gemerisik halus, seperti langkah kaki yang mencoba bersembunyi. Lyra merapatkan pegangan busurnya, sementara Varrok menyipitkan mata ke arah bayangan pepohonan. Kaelen merasakan bulu kuduknya berdiri. Sesuatu—atau seseorang—sedang memperhatikan mereka. Lyra langsung berdiri, matanya menyipit ke arah kegelapan. "Ada sesuatu di luar sana."
Varrok meraih kapaknya, lalu melangkah ke tepi reruntuhan. Kaelen bangkit dengan pedangnya terhunus. Dari balik bayangan pepohonan, terdengar langkah kaki pelan.
Seseorang mendekat.
Dari kegelapan, muncul seorang pria berjubah hitam dengan tudung yang menutupi sebagian wajahnya. Ia berhenti beberapa meter dari mereka, kedua tangannya terangkat sebagai tanda bahwa ia tidak membawa senjata.
"Kalian harus pergi," suaranya dalam, tetapi tak tergesa-gesa.
Kaelen menegang. "Siapa kau?"
Saat pria itu menurunkan tudungnya, sesuatu dalam diri Kaelen bergetar. Ia tidak mengenali wajah itu, tetapi ada sesuatu—perasaan samar di dadanya, seolah pria ini pernah menjadi bagian dari kehidupannya yang telah hilang. Namun, sekeras apa pun ia mencoba mengingat, yang tersisa hanyalah kehampaan. Rambut peraknya terurai di bawah cahaya bulan. Mata hitamnya menatap langsung ke arah Kaelen.
"Kita pernah bertemu sebelumnya," katanya, suaranya rendah. "Meskipun kau mungkin tidak mengingatnya."
Jantung Kaelen berdetak lebih cepat. "Apa maksudmu?"
Pria itu tersenyum tipis. "Aku tahu apa yang terjadi padamu, Kaelen Draven. Aku tahu setiap keping ingatan yang telah hilang. Dan jika kau ingin jawaban... kau harus ikut denganku."
Lyra segera menarik busurnya, membidik pria itu. "Kenapa kami harus percaya padamu?"
Pria itu tetap tenang. "Karena jika kalian tetap di sini, kalian akan mati."
Seolah menguatkan kata-katanya, dari kejauhan terdengar suara terompet panjang—tanda peringatan dari pasukan Ordo Cahaya. Cahaya obor mulai terlihat di antara pepohonan.
Varrok menggeram. "Mereka menemukan kita."
Kaelen menatap pria itu dengan curiga, tetapi di saat yang sama, firasatnya mengatakan bahwa orang ini mengetahui sesuatu yang penting.
"Cepat putuskan," desak pria itu. "Waktu kita tidak banyak."
Kaelen menggenggam pedangnya lebih erat. Ini mungkin jebakan, atau mungkin satu-satunya jalan untuk menemukan jawaban. Di sudut matanya, Lyra tampak menahan amarah, tetapi ia tidak mengatakan apa pun. Varrok, meskipun ragu, mengangguk perlahan. 'Tidak ada jalan kembali,' pikir Kaelen saat ia melangkah mengikuti pria itu, meninggalkan api unggun yang masih menyala dan bayangan masa lalu yang semakin jauh darinya. Matanya bertemu dengan Lyra, yang jelas tidak mempercayai orang asing itu. Varrok pun tampak ragu, tetapi suara pasukan yang semakin mendekat membuat pilihan mereka semakin terbatas.
Akhirnya, Kaelen mengambil keputusan.
"Kita pergi."
Pria itu mengangguk dan berbalik, berjalan menuju hutan tanpa menunggu. Kaelen, Lyra, dan Varrok segera mengikutinya, meninggalkan api unggun yang masih menyala.
Dan di belakang mereka, cahaya obor semakin mendekat, bersama bayangan kehancuran yang mengejar mereka.