The Shattered Light-Chapter 65: – Kegelapan yang Berbisik
Chapter 65 - – Kegelapan yang Berbisik
Kaelen terhuyung mundur, jantungnya masih berdetak kencang setelah ilusi orang tuanya lenyap. Rasa kehilangan kembali menghantamnya, tetapi ada sesuatu yang lebih mengerikan—dia tidak bisa mengingat suara ibunya lagi. Seolah bayangan masa lalunya perlahan-lahan terhapus, menjadi abu yang tersapu oleh angin kegelapan di tempat ini.
Follow current novels on freewebnσvel.cѳm.
Sementara itu, Lyra masih terduduk di tanah, wajahnya pucat saat sosok ayahnya menghilang di balik kabut pekat. Tangannya mengepal, kuku-kukunya hampir mencakar telapak tangannya sendiri. Ia mengangkat kepala dan bertatapan dengan Kaelen.
"Ini bukan sekadar tempat biasa," suaranya bergetar. "Jantung Kegelapan... bukan hanya menguji kita. Ia menghisap kita."
Kaelen ingin menjawab, tetapi suara di sekeliling mereka mulai berbisik, suara-suara asing yang tidak berasal dari mereka sendiri.
'Kau sudah terlalu jauh...'
'Semakin dalam kau melangkah, semakin kau akan kehilangan...'
Kaelen menggertakkan giginya. Dia tahu ini adalah bagian dari ujian, tetapi suara-suara itu terasa nyata, begitu dekat di telinganya. Dingin yang menusuk semakin merasuk ke dalam tulangnya, membuatnya merasa seakan tubuhnya sendiri mulai larut dalam kegelapan.
Varrok akhirnya muncul dari balik kabut, wajahnya tegang. "Aku melihat sesuatu yang seharusnya tidak ada di dunia ini."
Veylan, yang berdiri beberapa langkah di depan mereka, menatap dengan tajam. "Itu bukan halusinasi. Ini cara tempat ini mengungkap siapa diri kita sebenarnya. Jika kalian tidak cukup kuat untuk menghadapinya, maka kalian tidak akan keluar dari sini dengan selamat."
Lyra berdiri, suaranya penuh kemarahan yang bercampur dengan ketakutan. "Dan kau tidak memberi tahu kami sebelumnya?"
Veylan tetap tenang. "Jika aku memberi tahu, kalian mungkin tidak akan berani masuk."
Kaelen menatap sekeliling. Kabut yang menyelimuti mereka bergerak perlahan, seperti makhluk hidup yang menunggu kesempatan untuk melahap mangsanya.
"Jadi apa yang kita cari di sini?"
Veylan melangkah maju. "Kebenaran. Tentang dirimu, tentang kekuatanmu. Tapi ada sesuatu yang lebih."
Sebelum Kaelen bisa bertanya, tanah di bawah mereka bergetar. Dari kegelapan yang lebih pekat di depan mereka, sesuatu muncul—sesosok bayangan besar dengan mata berkilat merah darah. Ia tidak memiliki bentuk yang jelas, hanya massa kegelapan yang terus berubah, tetapi aura yang dipancarkannya membuat udara di sekitar mereka menegang.
'Kaelen Draven...'
Suara itu menggema di kepalanya, dalam, penuh ancaman sekaligus godaan. Kaelen menarik pedangnya, bersiap bertarung, tetapi Veylan mengangkat tangan. "Jangan menyerang sembarangan."
Lyra menegangkan busurnya. "Apa itu?"
Veylan menatap makhluk itu dengan serius. "Itu bukan sekadar bayangan. Itu adalah Pantulan, manifestasi dari kegelapan yang ada dalam diri kita."
Makhluk itu tertawa rendah. 'Kau ingin tahu siapa dirimu sebenarnya, Kaelen? Maka lihatlah...'
Dalam sekejap, kabut di sekitar mereka berputar, membentuk pemandangan baru. Mereka tidak lagi berada di Jantung Kegelapan. Sebagai gantinya, mereka melihat sebuah medan perang yang sudah berakhir—penuh dengan mayat-mayat berserakan, baju zirah hancur, dan tanah yang ternoda darah.
Di tengah medan perang itu, seorang pria berdiri dengan pedang berlumuran darah, tubuhnya dikelilingi bayangan yang sama seperti makhluk yang berdiri di hadapan mereka.
Dan pria itu adalah Kaelen.
Kaelen membeku. "Tidak mungkin..."
Pria itu menoleh, memperlihatkan wajahnya yang sama persis dengannya. Namun, ada sesuatu yang berbeda. Matanya kosong, tidak menunjukkan emosi selain kegelapan yang mendalam.
'Ini kau, Kaelen,' suara Pantulan itu kembali berbicara. 'Bukan masa lalu, bukan masa depan. Tapi kemungkinan. Jika kau terus melangkah ke dalam kegelapan, inilah yang akan terjadi padamu.'
Kaelen menelan ludah. Dia tidak bisa menyangkal bahwa kekuatan kegelapan dalam dirinya semakin bertambah setiap kali dia menggunakannya. Tapi apakah ini benar-benar takdirnya?
Lyra meletakkan tangannya di bahunya, suaranya penuh keteguhan. "Kaelen, kau bisa memilih jalan lain."
Kaelen menatap bayangannya sendiri. "Bagaimana jika aku tidak bisa?"
Pantulan itu tersenyum sinis. 'Maka kau akan menjadi aku.'
Sebelum ada yang bisa bergerak, sosok Kaelen yang lain mengangkat pedangnya dan menyerang.
Kaelen dengan sigap mengangkat pedangnya untuk menangkis, tetapi dampaknya membuat tangannya mati rasa. Serangan itu lebih kuat dari yang ia perkirakan. Bayangannya sendiri tidak hanya meniru kekuatannya, tetapi juga mewakili sesuatu yang lebih dalam—keinginan tersembunyi untuk melepaskan semua beban yang selama ini ia pikul.
Varrok bergerak untuk membantu, tetapi Veylan menahan lengannya. "Ini adalah ujian yang harus dia selesaikan sendiri."
Lyra mencengkeram busurnya dengan gelisah, tetapi ia tidak bisa berbuat apa-apa. Ia hanya bisa menyaksikan Kaelen bertarung melawan versi tergelap dari dirinya sendiri.
Pedang mereka saling beradu dalam kilatan cahaya hitam yang berdesing tajam di udara. Kaelen berusaha menyerang balik, tetapi setiap kali ia mengayunkan pedangnya, bayangan itu menangkisnya dengan mudah, seolah mengetahui setiap gerakannya.
'Kau tidak bisa menang,' kata bayangan itu tanpa ekspresi. 'Karena aku adalah dirimu yang sebenarnya.'
Kaelen menggeram. "Aku bukan dirimu."
Bayangan itu tersenyum tipis. 'Lalu buktikan.'
Kaelen tahu bahwa pertarungan ini bukan hanya soal kekuatan fisik. Ini adalah pertempuran melawan dirinya sendiri. Jika ia terus mencoba melawan dengan pedangnya, ia tidak akan pernah menang. Ia harus menemukan cara lain.
Mengambil napas dalam, ia menurunkan pedangnya dan menatap lurus ke mata bayangannya. "Aku menerima bahwa kau adalah bagian dari diriku. Tapi aku tidak akan membiarkanmu mengendalikan siapa aku."
Seketika, bayangan itu membeku.
Kaelen melangkah maju. "Aku telah kehilangan terlalu banyak karena kegelapan ini. Aku tidak akan membiarkan diriku menjadi monster."
Bayangan itu mulai retak, seperti kaca yang pecah.
'Tanpa aku, kau akan menjadi lemah,' bisiknya.
Kaelen menggeleng. "Tanpa diriku, kau tidak akan pernah ada."
Dengan kata-kata itu, bayangan itu runtuh menjadi debu hitam yang lenyap ditiup angin. Keheningan menyelimuti medan perang ilusi tersebut, dan perlahan, dunia kembali ke Jantung Kegelapan.
Kaelen jatuh berlutut, napasnya memburu.
Lyra segera menghampirinya, menggenggam tangannya erat. "Kau berhasil."
Kaelen menatapnya, kelelahan tercermin di matanya. "Untuk sekarang."
Dari kegelapan di sekeliling mereka, suara bisikan samar masih terdengar, seolah mengingatkan bahwa ujian mereka belum berakhir.