The Shattered Light-Chapter 69: – Bayangan yang Terlupakan

If audio player doesn't work, press Reset or reload the page.

Chapter 69 - – Bayangan yang Terlupakan

Kaelen melangkah lebih dalam ke lorong yang diterangi cahaya biru berpendar dari dinding-dindingnya. Udara di sini begitu sunyi, seolah ruang ini terputus dari dunia luar. Setiap langkah menggema, menciptakan kesan bahwa tempat ini tidak tersentuh oleh waktu.

Visit freewёbnoνel.com for the best novel reading experience.

Varrok menggenggam kapaknya lebih erat. "Aku tidak suka ini. Terlalu sepi. Terlalu... mati."

Lyra berjalan di samping Kaelen, matanya terus menyapu ke setiap sudut lorong. "Apa sebenarnya tempat ini?"

Veylan, yang berjalan paling depan, berhenti sejenak. "Lorong ini adalah batas antara Jantung Kegelapan dan sesuatu yang lebih dalam. Segel tadi bukan hanya mengunci kita di sini—tetapi juga menjaga sesuatu agar tetap terkubur."

Kaelen menatapnya tajam. "Dan kau tidak memberitahu kami sebelumnya?"

Veylan hanya tersenyum samar. "Jika aku memberitahu, apakah kau masih akan masuk?"

Kaelen mendengus, memilih untuk tidak menjawab. Ada sesuatu yang menariknya semakin dalam, sesuatu yang lebih besar dari dirinya sendiri. Ia bisa merasakan denyutan samar di udara, seperti detak jantung yang perlahan beresonansi dengan langkah kakinya.

Lalu, lorong itu berakhir.

Di hadapan mereka terbentang ruangan luas dengan pilar-pilar tinggi yang menjulang ke langit-langit, seolah-olah ini adalah sisa-sisa sebuah kuil kuno. Cahaya biru dari lorong kini tergantikan oleh cahaya redup keunguan yang berasal dari kristal-kristal yang menempel di dinding.

Namun, yang menarik perhatian mereka bukanlah pilar-pilar itu, melainkan sosok yang berdiri di tengah ruangan.

Sosok itu tinggi, berselimut jubah gelap dengan simbol kuno yang berpendar samar. Wajahnya tersembunyi di balik bayangan, tetapi mata peraknya bersinar tajam.

Kaelen merasakan dadanya sesak. Ada sesuatu tentang sosok ini yang terasa... akrab.

"Kaelen Draven," suara sosok itu dalam dan bergema, seolah berasal dari masa yang telah lama terlupakan. "Akhirnya kau datang."

Lyra langsung menarik busurnya, sementara Varrok mengangkat kapaknya dengan siaga. Namun, sebelum mereka bisa bergerak, sosok itu mengangkat satu tangan, dan seketika, mereka membeku. Bukan karena kekuatan fisik, melainkan sesuatu yang lebih dalam—sebuah tekanan yang langsung menekan jiwa mereka.

Kaelen berusaha melawan, tetapi tubuhnya tidak mau bergerak.

Sosok itu berjalan mendekatinya, langkahnya nyaris tanpa suara. "Kau tidak mengenaliku, bukan?"

Kaelen mengerutkan kening. "Siapa kau?"

Senyum tipis muncul di wajah sosok itu. "Aku adalah bagian dari ingatanmu yang telah hilang. Aku adalah mereka yang telah kau lupakan."

Kaelen merasakan sesuatu berputar dalam kepalanya—rasa sakit yang menusuk, kilasan bayangan yang seharusnya ada, tetapi kini hanya berupa kepingan yang retak.

Lalu, ia melihatnya.

Serina.

Bukan bayangan seperti sebelumnya. Tidak sekadar ilusi yang memudar. Ia berdiri di samping sosok itu, matanya penuh emosi yang tak dapat dijelaskan.

Kaelen terhuyung mundur. "Tidak... ini tidak mungkin."

Serina menatapnya, lalu berbicara dengan suara yang lebih nyata dari yang pernah ia dengar sejak ia melupakannya. "Kaelen, kau telah datang terlalu jauh."

Jantung Kaelen berdetak kencang. "Aku... aku tidak mengerti. Aku melihatmu mati. Aku..."

Sosok berjubah itu mengangkat tangannya lagi, dan tiba-tiba ruangan di sekitar mereka berubah. Pilar-pilar runtuh, lantai menjadi retak, dan dari bayangan, sosok-sosok lain mulai muncul. Wajah-wajah samar, tetapi Kaelen bisa merasakan bahwa mereka pernah memiliki arti dalam hidupnya.

Darius. Elara. Orang-orang yang pernah ia kenal dan lupakan.

Kaelen merasakan ketakutan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.

"Apa ini?" bisiknya.

Sosok berjubah itu menatapnya dengan mata peraknya yang dingin. "Ini adalah harga dari kekuatan yang kau gunakan. Setiap ingatan yang telah kau hilangkan... tidak benar-benar lenyap. Mereka ada di sini. Bersamaku."

Kaelen jatuh berlutut. Dadanya terasa berat, seolah dunia menekannya dari segala arah. Ia telah menerima kekuatan ini tanpa mengetahui dampaknya yang sebenarnya. Semua yang ia korbankan... mereka tidak lenyap begitu saja. Mereka terkumpul di sini, di tempat ini.

Serina berlutut di depannya, menatapnya dengan kelembutan yang memilukan. "Kaelen... apakah kau masih ingin melanjutkan?"

Kaelen menatap wajahnya yang pernah begitu akrab. Pilihan yang ada di depannya kini lebih sulit dari sebelumnya. Jika ia terus maju, apa lagi yang akan ia hilangkan? Tetapi jika ia berhenti di sini, apakah semuanya akan sia-sia?

Tangannya gemetar saat ia mengepalkan tinjunya.

Lalu, ia mengambil keputusan.

Ia mengangkat kepalanya, menatap lurus ke dalam mata Serina.

"Aku akan menemukan jalan."

Sosok berjubah itu tersenyum. "Kita akan lihat... apakah kau benar-benar siap menghadapi kebenaran."

Tiba-tiba, cahaya keunguan di ruangan itu berpendar lebih terang. Pilar-pilar yang runtuh kembali membentuk dirinya, dan bayangan yang sebelumnya melayang di udara mulai bergerak, berputar mengelilingi mereka. Ruangan ini tidak sekadar tempat ujian—ia adalah pintu gerbang menuju sesuatu yang lebih dalam.

Kaelen menarik napas dalam. Langkah berikutnya akan menentukan segalanya.

Lalu, semuanya menjadi gelap.