The Shattered Light-Chapter 7: – Pertemuan di Antara Bayangan
Chapter 7 - – Pertemuan di Antara Bayangan
Malam itu, setelah kejadian di gua, Kaelen tidak bisa tidur. Bisikan dari lambang Kegelapan masih terngiang di telinganya. Sosok berjubah hitam dengan mata merah terus membayangi pikirannya. Ia merasa seolah ada kekuatan yang mulai merayap ke dalam dirinya, perlahan namun pasti.
Fajar menjelang. Varrok bersiap untuk melanjutkan perjalanan. Mereka meninggalkan gua dengan hati-hati, memastikan tak ada jejak yang tertinggal. Hutan masih berselimut kabut, menciptakan suasana sunyi yang menegangkan. Setiap langkah terasa seperti gema di telinga Kaelen. Ia merasa diawasi, meski tidak ada siapa pun.
Di tengah perjalanan, suara ranting patah membuat mereka berhenti. Varrok memberi isyarat agar Kaelen bersiap. Dari balik pepohonan, muncul seorang perempuan muda dengan jubah kelabu. Rambut hitam panjang tergerai di punggungnya, matanya tajam seperti elang. Ia membawa busur di punggung, dengan anak panah yang sudah siap ditarik. Belati tergantung di pinggangnya.
"Siapa kalian?" suaranya dingin, penuh kewaspadaan.
Kaelen merasakan jantungnya berdetak lebih cepat. Tangannya bergerak perlahan ke gagang pisau di pinggang. Varrok melangkah maju, tangannya terangkat tanda damai.
"Kami bukan musuh. Kami hanya pengelana yang melarikan diri dari kekejaman Cahaya," ujar Varrok dengan tenang.
Perempuan itu menatap mereka beberapa detik. Matanya mengawasi tiap gerakan mereka. Kaelen bersiap—sedetik saja tanda bahaya muncul, ia akan menyerang. Namun akhirnya, perempuan itu menurunkan busurnya sedikit.
"Namaku Serina. Aku juga melawan Cahaya. Jika kalian berbohong, aku tidak akan ragu membunuh kalian. Aku sudah kehilangan terlalu banyak untuk dikhianati lagi."
Kaelen melihat keteguhan dalam mata Serina. Ada luka di sana, luka yang mirip dengan yang ia rasakan. Sekilas, ia teringat wajah ibunya yang berlumuran darah. Ia merasa sedikit lebih tenang, namun tetap waspada.
Varrok mengangguk. "Kami punya tujuan yang sama. Mungkin takdir mempertemukan kita di sini."
Serina menghela napas. "Ada tempat persembunyian di dekat sini. Aku bisa membawa kalian, tapi jangan coba-coba berbuat macam-macam. Aku akan membunuh kalian dalam tidur jika perlu."
Mereka berjalan bersama menuju sebuah pondok kecil yang tersembunyi di balik semak belukar. Pondok itu tampak sederhana, dindingnya lapuk dan atapnya bocor di beberapa sudut. Bau kayu lembap bercampur abu sisa perapian. Di sudut, ada cawan tanah liat pecah dan sisa panah patah—jejak perlawanan yang telah lewat.
Visit frёewebnoѵel.ƈo๓ for the b𝘦st novel reading experience.
Di dalam pondok, mereka duduk melingkar. Serina mulai bercerita. Ia adalah bagian dari kelompok perlawanan yang disebut "Bayangan Malam"—sekelompok penyintas yang bersembunyi dan melancarkan serangan gerilya terhadap pasukan Cahaya. Namun, kelompok itu baru saja diserang, dan hanya sedikit yang selamat.
"Aku kehilangan semuanya... keluarga, teman-teman, dan saudara seperjuangan. Cahaya tidak pernah berhenti memburu kami," kata Serina dengan suara bergetar. Matanya berkilat, antara kesedihan dan kebencian.
Kaelen merasakan luka itu. Ia tahu betul rasa sakit karena kehilangan. Rasa itu membentuknya hingga menjadi dirinya yang sekarang.
"Kami akan bertarung bersamamu," kata Kaelen, suaranya mantap.
Varrok menatap Kaelen dengan sedikit kaget, tetapi ia tahu, inilah langkah berikutnya. Mereka tidak bisa terus bersembunyi selamanya.
Serina menatap Kaelen. Ada kilatan harapan di matanya yang dingin. "Kalau begitu, mulai sekarang kita adalah sekutu. Tapi ingat, di jalan ini, hanya ada darah dan kematian. Jika kalian takut, lebih baik pergi sekarang."
Kaelen tersenyum tipis. "Aku sudah kehilangan segalanya. Yang tersisa hanya perlawanan."
Varrok menghela napas pelan. "Tidak ada jalan kembali setelah ini. Kalian paham?"
Serina menatapnya lekat. "Aku sudah lama melangkah di jalan itu. Aku tahu harganya. Kau?"
Varrok menunduk sejenak, lalu menatap mereka. "Aku kehilangan lebih banyak dari yang kalian kira. Tapi aku masih berdiri di sini. Itu jawabanku."
Hening sejenak.
Kaelen memecah keheningan. "Apa rencana kita selanjutnya? Apa kita akan mencari Bayangan Malam yang tersisa?"
Serina mengangguk. "Ya. Aku punya informasi tentang dua orang yang mungkin masih hidup. Tapi perjalanan ke sana berbahaya. Banyak patroli Cahaya di sekitar. Kita harus bergerak saat malam."
Varrok menatap Kaelen dan Serina bergantian. "Kalau begitu, kita mulai malam ini. Kita bergerak sebagai satu. Tidak ada yang tertinggal. Tidak ada pengkhianatan."
Kaelen dan Serina saling berpandangan, lalu mengangguk.
Malam itu, aliansi baru terbentuk di antara bayangan. Kaelen, Varrok, dan Serina—tiga jiwa yang terluka, bersatu dalam dendam, menuju perang yang akan menentukan nasib mereka dan dunia yang telah direnggut Cahaya. Di balik cahaya perapian yang redup, mereka tidak menyadari bahwa kepercayaan yang mulai tumbuh di antara mereka akan diuji dengan darah dan pengkhianatan di masa depan.