The Shattered Light-Chapter 88: – Dua Jiwa dalam Satu Raga

If audio player doesn't work, press Reset or reload the page.

Chapter 88 - – Dua Jiwa dalam Satu Raga

Kaelen merasakan hawa dingin menjalari punggungnya. Serina yang ia kenal, yang ia perjuangkan untuk kembali, kini menatapnya dengan sorot mata asing. Suaranya yang bergetar bukan hanya miliknya, tetapi seperti ada dua orang berbicara bersamaan dari dalam dirinya.

Serina memegangi kepalanya, tubuhnya sedikit gemetar. "Kaelen... apa yang terjadi padaku?"

Kaelen menatapnya dengan penuh kebingungan. "Kau... kau kembali, tapi sesuatu dalam dirimu berubah."

Penjaga Ingatan menghela napas, lalu melangkah lebih dekat. "Ia tidak kembali sendirian."

Kaelen menoleh tajam. "Apa maksudmu?"

Pria tua itu menatap Serina dengan mata penuh kebijaksanaan, tetapi juga kehati-hatian. "Ketika jiwa ditarik kembali dari kehampaan, terkadang ia tidak datang sendiri. Ada sesuatu... atau seseorang... yang ikut bersamanya."

Serina terengah-engah, tangannya mencengkeram tanah. Bayangan mulai merayapi kulitnya, berdenyut seolah berusaha mengambil alih tubuhnya. "Ada suara di kepalaku... suara yang bukan milikku."

Kaelen langsung berlutut di sampingnya, menggenggam bahunya. "Serina, fokus padaku! Siapa pun atau apa pun yang bersamamu, kau lebih kuat dari mereka."

Namun, Serina hanya menggeleng lemah. "Aku tidak yakin... Kaelen, aku takut."

Tiba-tiba, tubuhnya tersentak. Wajahnya menegang, dan tatapan ketakutan berubah menjadi kehampaan.

Penjaga Ingatan menundukkan kepalanya sedikit. "Ini lebih buruk dari yang kuduga. Jiwa yang lain itu... bukan hanya menempel. Ia berusaha menyatu dengannya."

Kaelen menegang. "Bagaimana cara kita menghentikannya?"

Sebelum Penjaga Ingatan bisa menjawab, tubuh Serina tiba-tiba menegang. Mata hitam pekat menggantikan irisnya, dan angin kencang berputar di dalam gua. Energi yang mengerikan keluar dari tubuhnya, membuat batu-batu di sekitar mereka bergetar. Udara di sekitar mereka menjadi berat, seperti dihantui oleh sesuatu yang tak terlihat.

Dari bibir Serina, sebuah suara yang lebih dalam keluar, suara yang bukan miliknya. "Serina... hanyalah wadah."

Kaelen merasakan darahnya membeku. "Siapa kau?"

Serina tersenyum, tetapi itu bukan senyumannya. "Aku adalah yang terlupakan. Yang tersegel dalam kehampaan. Dan kini, aku akhirnya menemukan pintu untuk kembali."

Tanpa peringatan, Serina melompat mundur dengan kelincahan yang bukan miliknya. Tangannya terangkat, dan dari telapak tangannya, bayangan memanjang dengan bentuk seperti belati. Ia menyerang tanpa ragu.

Kaelen hampir tak sempat menghindar. Ia memblokir serangan itu dengan pedangnya, tetapi kekuatan Serina lebih besar dari sebelumnya. Ia terdorong ke belakang, kakinya terseret di tanah. Percikan api muncul dari benturan pedang dan belati bayangan, menyala sekejap sebelum menghilang dalam kegelapan.

"Serina, kau harus melawan ini!" serunya.

Serina—atau entitas yang mengendalikannya—hanya tertawa. "Kau bodoh jika berpikir ia masih ada. Serina yang kau kenal telah pergi. Kini, hanya aku."

Kaelen mengepalkan tinjunya. "Aku tidak akan mempercayainya."

Ia menghunus pedangnya dengan lebih erat, bersiap menghadapi pertarungan yang tak pernah ia bayangkan. Jika ingin membawa Serina kembali, ia harus menghadapi sosok yang kini mengendalikan tubuhnya.

Namun sebelum ia sempat menyerang, bayangan di sekitar gua mulai bergerak, menggeliat seolah memiliki nyawa sendiri. Sosok-sosok samar mulai muncul dari kegelapan, merangkak di dinding gua dan berjalan tanpa suara di lantai batu.

Kaelen menajamkan pandangannya. "Apa ini?"

Serina—atau entitas dalam dirinya—tersenyum miring. "Kau pikir hanya aku yang kembali?"

Follow curr𝒆nt nov𝒆ls on fɾeeweɓnѳveɭ.com.

Makhluk-makhluk bayangan itu semakin mendekat, mata mereka kosong, tubuh mereka bergetar seakan baru saja keluar dari dunia lain. Mereka adalah sisa-sisa jiwa yang terjebak dalam kehampaan, dan kini, mereka haus akan kehidupan.

Penjaga Ingatan mundur selangkah, suaranya dipenuhi ketegangan. "Kaelen, kita harus bertindak cepat. Jika mereka sepenuhnya muncul ke dunia ini, tidak ada yang bisa menghentikan mereka."

Kaelen menarik napas dalam. "Kalau begitu, kita tidak akan membiarkan mereka."

Ia mengangkat pedangnya, cahaya redup dari bilahnya berkedip sejenak. Bayangan di sekitarnya mulai bergerak liar, seolah merasakan perlawanan.

Serina—atau apa pun yang mengendalikannya—mengangkat tangannya perlahan, dan makhluk-makhluk bayangan itu bergetar, bersiap menyerang.

Pertarungan pun dimulai.