The Shattered Light-Chapter 12: – Langkah di Tanah Pemburu
Chapter 12 - – Langkah di Tanah Pemburu
Setelah beristirahat singkat, Kaelen dan kelompoknya melanjutkan perjalanan menuju barat. Matahari pagi perlahan menembus rimbun pepohonan, namun hawa ketegangan tak kunjung surut. Medan semakin berat, akar-akar pohon menjulur seperti perangkap, dan semak berduri merintangi langkah mereka.
Varrok berjalan di depan, pandangannya tajam menyisir jalan. Serina berada di belakangnya, sesekali menoleh memastikan tak ada yang tertinggal. Kaelen berada di tengah, berjalan di samping Lyra. Darek dan dua penyintas baru, Kael dan Aria, mengikuti di barisan belakang.
"Kau baik-baik saja?" tanya Kaelen lirih kepada Lyra.
Lyra mengangguk, meski matanya masih menyimpan kekhawatiran. "Aku hanya takut... menemukan mereka yang kita cari... sudah tidak bernyawa."
Kaelen ingin mengatakan sesuatu yang menenangkan, tetapi ia tahu, di medan ini, harapan mudah hancur.
Mereka melanjutkan perjalanan hingga siang menjelang. Saat berhenti untuk minum, Serina mendekati Kaelen.
"Kau mulai dekat dengannya," ucap Serina tiba-tiba, nadanya datar, meski matanya menyiratkan lebih. Ada ketidaknyamanan yang bersembunyi di balik sorotannya—sekelebat cemburu yang bahkan mungkin tak sepenuhnya ia sadari. Perasaan itu muncul begitu saja, mencubit hatinya dengan halus, sebelum segera ia tekan kembali di bawah kedok ketegasan.
Kaelen terkejut, tetapi berusaha tetap tenang. "Kami semua dekat sekarang. Kita harus saling menjaga."
Serina mengangguk pelan, namun sorot matanya menyiratkan sesuatu yang lebih dalam.
Perjalanan berlanjut. Sore menjelang ketika Varrok mengangkat tangan, memberi isyarat berhenti. Di depan mereka, sebuah lembah curam membentang. Jauh di bawah, terlihat sungai berkelok-kelok, dan di sisi seberangnya, reruntuhan bangunan kuno tampak samar.
Visit freewёbnoνel.com for the best novel reading experience.
"Itu tempatnya," kata Varrok. "Pos persembunyian lama Bayangan Malam. Jika ada yang selamat, mereka mungkin ada di sana. Tapi kita harus turun melewati lembah ini, dan itu bukan jalur yang mudah."
Darek menatap sekeliling. "Wilayah ini dikenal sebagai Tanah Pemburu. Pengintai Hitam sering berkeliaran di sini. Kita harus bergerak dengan sangat hati-hati."
Kaelen merasa bulu kuduknya meremang. Ia kembali merasakan tatapan tak kasatmata itu. Dari kejauhan, angin membawa suara gemerisik dedaunan, namun ada sesuatu yang berbeda—seperti langkah ringan yang sengaja disamarkan. Sekilas, ia menangkap bayangan gelap di antara pepohonan, tetapi saat ia berkedip, bayangan itu telah menghilang. Namun, ia menepis ketakutannya.
"Kita turun saat gelap," putus Varrok. "Sekarang, kita sembunyi dan awasi sekitar. Jangan buat suara. Jika mereka ada di sini... kita bukan pemburu. Kita buruan."
Malam perlahan merangkak. Saat kegelapan menyelimuti lembah, Kaelen bersama kelompoknya bersiap turun. Napas mereka tertahan, jari-jari menggenggam erat gagang senjata seakan menjadi penyelamat terakhir. Kaelen bisa mendengar detak jantungnya sendiri, berpadu dengan dengus pelan Lyra di sampingnya. Serina melirik ke sekeliling, matanya bergerak cepat, seolah mencari bahaya di setiap sudut. Darek menunduk rendah, kapaknya siap di tangan, sementara Kael dan Aria saling berpegangan, tubuh mereka sedikit gemetar. Ketegangan menyelimuti mereka seperti kabut malam yang menekan dada. Setiap langkah harus tepat. Sebab, di tanah ini, satu kesalahan kecil berarti kematian.