The Shattered Light-Chapter 13: – Nafas di Antara Bayangan

If audio player doesn't work, press Reset or reload the page.

Chapter 13 - – Nafas di Antara Bayangan

Lembah Tanah Pemburu menyambut mereka dengan kesunyian yang menegangkan. Kaelen memimpin langkah turun bersama Varrok di depan, sementara yang lain mengikuti dengan hati-hati. Batu-batu licin dan akar menjulur seperti jerat menanti mereka yang lengah. Udara lembah lembap, bercampur dengan bau tanah basah dan samar aroma anyir darah yang telah lama mengering.

Darek berbisik, "Langkah pelan. Jangan goyangkan batu. Pengintai Hitam bisa mendengar hingga sejauh itu."

Kaelen mengangguk, menajamkan pendengarannya. Setiap kerikil yang jatuh membuat dadanya berdegup kencang. Napasnya berusaha ia tahan agar tidak terlalu berat. Suara gemerisik daun di kejauhan membuatnya sesaat berpikir ada sesuatu yang mengikuti.

Lyra berjalan di sampingnya. Napas mereka pelan, sesekali saling pandang memastikan satu sama lain baik-baik saja. Sentuhan lengan Lyra yang tak sengaja membuat Kaelen merasakan kehangatan sejenak di tengah dinginnya lembah. Namun, di balik kehangatan itu, Lyra menggigit bibir bawahnya. Ia berusaha menyembunyikan ketakutan yang terus menggerogoti hatinya.

Serina melihat itu dari belakang, tanpa sengaja menggenggam gagang belatinya lebih erat. Ia segera mengalihkan pandangan, berusaha mengabaikan rasa yang mulai mengganggu pikirannya. Namun, ada kekhawatiran lain dalam benaknya—bukan hanya tentang Kaelen dan Lyra, tapi juga tentang keselamatan mereka semua. Serina tahu, Pengintai Hitam jarang bergerak sendiri. Jika ada satu, pasti ada lebih banyak.

Saat mereka mencapai dasar lembah, suara gemericik sungai terdengar pelan. Di kejauhan, reruntuhan pos Bayangan Malam mulai terlihat lebih jelas. Temboknya lapuk, namun bekas pertempuran masih tergambar jelas—panah patah menancap di dinding, bekas darah yang samar terlihat di bebatuan. Bau besi yang khas menyengat di udara, bercampur dengan aroma lumut lembap.

Varrok memberi isyarat berhenti. Mereka merunduk di balik semak. Matanya menelisik sekitar.

"Ada yang aneh," bisiknya. "Terlalu sepi."

Foll𝑜w current novℯls on ƒrēewebnoѵёl.cσm.

Kaelen merasakan hal yang sama. Keheningan yang menekan. Terlalu sempurna untuk menjadi kebetulan. Jari-jarinya mengencang di gagang pisaunya, napasnya mulai lebih pendek. Darek menunjuk ke jejak samar di tanah basah. "Baru. Seseorang baru saja di sini."

Mendadak, Aria menahan napas. Matanya membesar, menunjuk ke arah bayangan di reruntuhan.

Sesosok manusia berdiri di sana—tak bergerak. Jubah hitam menutupi tubuhnya. Wajahnya tak terlihat. Namun yang paling menyeramkan adalah cara ia berdiri, terlalu diam, terlalu tenang. Udara seketika menjadi lebih dingin, seolah keberadaan sosok itu merampas hangatnya kehidupan di sekitar mereka.

"Pengintai Hitam..." bisik Serina, suaranya gemetar.

Kaelen merasakan ketakutan mengalir di pembuluh darahnya. Mereka telah ditemukan.

Varrok memberi isyarat untuk mundur perlahan. Namun sebelum mereka sempat bergerak, suara melengking terdengar dari atas tebing.

"MEREKA DI SANA!"

Beberapa sosok melompat turun dari ketinggian dengan gesit, pedang dan busur di tangan. Mata mereka bersinar merah samar dalam gelap. Gerakan mereka seperti bayangan yang hidup—cepat, senyap, dan mematikan.

"Lari!" teriak Varrok.

Kaelen meraih tangan Lyra, menariknya. Serina berbalik menghunus busurnya, menembakkan satu anak panah yang menancap di bahu salah satu pengejar. Darek mengayunkan kapaknya, menghalangi satu musuh yang melompat terlalu dekat. Aria tersandung, hampir jatuh, namun Kael menariknya berdiri.

Kaelen merasa kekuatan gelap di dalam dirinya bergetar, mendesaknya keluar. Energi itu liar, haus darah, siap merenggut kendali. Namun ia menahannya. Belum saatnya. Jika ia menggunakan kekuatan itu sekarang, ia tahu akan ada harga yang harus dibayar.

Mereka berlari melewati reruntuhan, melintasi sungai dangkal, sementara suara langkah para Pengintai Hitam mengiringi di belakang mereka. Nafas berat, dengusan, dan teriakan samar bercampur dengan suara gemericik air yang mereka terjang. Batu-batu licin hampir membuat Kaelen tergelincir, tetapi ia terus memaksa kakinya melangkah.

Di tengah kekacauan, Kaelen hanya memiliki satu pikiran: Bertahan hidup. Karena di tanah ini, mati adalah hal yang paling mudah terjadi. Di belakang mereka, Pengintai Hitam terus memburu, semakin dekat. Dan di dada Kaelen, rasa takut bercampur amarah mulai berkobar—api yang perlahan membakar kendali dirinya.