The Shattered Light-Chapter 155: – Api yang Menyala Kembali

If audio player doesn't work, press Reset or reload the page.
Chapter 155: – Api yang Menyala Kembali

Hening menyelimuti lembah tempat mereka menetap sementara. Nyala api unggun meliuk pelan, memantulkan cahaya hangat ke wajah-wajah yang letih. Malam itu, bintang bersinar seolah menatap dunia dari jauh, menyaksikan reruntuhan dan kebangkitan yang menyertainya.

Lyra duduk di samping api, pandangannya kosong. Rambutnya berantakan, jubahnya masih basah oleh lumpur dan darah. Tapi di matanya, sesuatu telah berubah—keteguhan. Bukan semangat yang membara, tapi nyala yang dingin, terfokus. Seperti bara dalam abu.

"Berapa banyak yang tersisa?" tanyanya tanpa menoleh.

Alden duduk di seberangnya, menunduk sebelum menjawab.

"Enam puluh dua. Itu termasuk yang masih bisa memegang senjata."

"Dari hampir tiga ratus," gumam Lyra, nyaris tak terdengar.

Kesunyian menjawab. Hanya gemeretak kayu terbakar dan napas berat para penyintas yang terdengar.

"Kita tidak bisa terus seperti ini," lanjut Alden, suaranya datar. "Mereka kelelahan. Kehilangan harapan. Jika kau tidak memberi mereka arah..."

"Aku tahu," potong Lyra, menatap api. "Tapi arah ke mana, Alden? Kita tidak tahu apakah Kaelen masih hidup. Kita bahkan tidak tahu apakah tempat perlindungan berikutnya aman."

Alden menatapnya, lama, sebelum akhirnya berkata pelan,

"Mereka percaya padamu. Karena dia percaya padamu."

Kata-kata itu menusuk lebih dalam dari yang ia duga. Lyra menoleh, dan untuk pertama kalinya malam itu, mata mereka bertemu.

"Lalu bagaimana kalau aku tak sanggup menjadi seperti dia?"

"Kau bukan dia," jawab Alden. "Dan itu justru kelebihanmu."

Sebelum Lyra bisa membalas, seorang penjaga datang dengan napas terengah-engah.

"Nona Lyra... ada seseorang yang ingin bertemu. Dari Suku Bayangan."

Lyra berdiri. Beberapa pasukan bereaksi defensif, tapi ia mengangkat tangan untuk menenangkan mereka.

Di luar batas api, seorang wanita berkulit gelap dengan rambut dikepang rapat muncul. Dia mengenakan jubah ungu-hitam khas kaum Bayangan. Wajahnya tegas, tapi bukan dingin—hanya penuh kehati-hatian.

"Namaku Naerys," katanya. "Aku datang membawa pesan dari Penasihat Agung kami."

Lyra mengangguk singkat. "Kau telah menyelamatkan kami tadi. Kenapa?"

Naerys menatapnya lurus. "Karena apa yang kalian lawan... juga menghancurkan kami."

Ia menjatuhkan sebuah gulungan kulit ke tanah. Lyra mengambilnya, membuka cepat. Peta. Rute. Titik-titik merah di atas kota-kota yang... sudah tak ada.

"Ordo Cahaya telah menyerang reruntuhan kami di Utara. Membakar tempat suci kami. Mereka tidak hanya memburu kalian. Mereka memburu siapa pun yang menolak tunduk."

Alden mendekat, menatap peta. "Ini... jauh lebih luas dari yang kita tahu."

Lyra menatap Naerys dengan campuran kecurigaan dan ketertarikan.

"Apa yang kau inginkan dari kami?"

Naerys mengangkat dagunya.

"Persatuan. Kita bentuk aliansi. Suku Bayangan, sisa pasukan Kegelapan, dan siapapun yang tersisa dari kaum bebas. Kita hadapi Ordo bersama-sama."

"Dan siapa yang memimpin?" tanya Alden datar.

Naerys tersenyum kecil. "Kita tentukan bersama. Tapi kita butuh seseorang yang mampu menjadi wajah bagi perang ini."

Ia menatap langsung ke Lyra.

"Kau."

Beberapa orang mulai protes saat kabar rencana aliansi menyebar. Ada yang takut, ada yang marah.

"Mereka pengkhianat dulunya!" teriak salah satu prajurit tua. "Kita tak bisa percaya Bayangan!"

"Dan kita sudah bisa percaya siapa sekarang?" sahut pemuda lain. "Ordo Cahaya membantai keluargaku! Jika mereka mau membantu, biarkan!"

Lyra berdiri di tengah mereka semua. Suaranya naik, menembus kebisingan.

"Cukup! Kau boleh benci siapa pun yang kau mau. Tapi kebencian tidak akan membawa kita menang. Hanya kekuatan... dan persatuan."

Semua terdiam.

"Aku tidak meminta kalian mempercayai mereka. Tapi aku minta kalian mempercayai ini: jika kita tak bertindak sekarang, tak satu pun dari kita yang akan bertahan."

Dalam dua hari berikutnya, mereka bergerak ke lokasi yang ditunjukkan oleh Naerys—sebuah gua terlindung di balik pegunungan, markas sementara Suku Bayangan.

Di sana, untuk pertama kalinya sejak Kaelen menghilang, Lyra berdiri di depan kelompok besar manusia, elf, dan Bayangan.

Dia memegang pedang Kaelen—yang entah bagaimana ditemukan oleh pasukan Bayangan di reruntuhan kuil.

"Kaelen memperjuangkan dunia di mana Cahaya bukan lagi topeng tirani," katanya lantang. "Hari ini, kita lanjutkan perjuangan itu."

"Bersama. Tak peduli dari mana kita berasal. Tak peduli bayangan masa lalu kita."

Naerys dan para tetua Bayangan mengangguk setuju. Para penyintas menatap dengan mata yang penuh kemungkinan.

"Mulai hari ini," lanjut Lyra, "kita adalah bara dari api yang belum padam. Kita akan menyulut nyala yang akan membakar fondasi Ordo Cahaya."

Suara sorakan pecah.

Tak sehebat pasukan besar.Tapi cukup untuk membangkitkan semangat.

Malam itu, di puncak menara kecil yang menghadap ke lembah, Lyra berdiri sendiri.

Tangan kirinya menggenggam pedang Kaelen.

Tangan kanannya memegang liontin kecil—yang entah kenapa... membuatnya merasa sedikit lebih dekat pada seseorang yang perlahan-lahan mulai menghilang dari ingatannya.

"Kau tetap di sini," bisiknya, menatap langit. "Di antara setiap langkahku."