The Shattered Light-Chapter 163: – Luka yang Tidak Terlihat

If audio player doesn't work, press Reset or reload the page.
Chapter 163: – Luka yang Tidak Terlihat

Langit pagi tidak membawa kehangatan. Hanya abu dan kabut yang tersisa di atas reruntuhan Benteng Eridros.

Kaelen duduk diam di atas batu besar, tangannya gemetar. Tubuhnya penuh luka, tapi luka terparah bukan yang mengucurkan darah. Itu ada di dalam—tempat yang tidak bisa dijangkau siapa pun, bahkan oleh Lyra.

“Berapa yang gugur tadi malam?” tanyanya pelan, tidak menoleh.

Alden berdiri beberapa langkah di belakang. Ragu menjawab. “Dua ratus empat puluh satu dari pasukan kita. Sebagian besar saat ledakanmu meledakkan parit pertahanan... dan setelahnya.”

“Dan dari pihak mereka?”

“Lebih dari lima ratus.”

Kaelen memejamkan mata.

“Aku tidak ingat wajah mereka,” katanya. “Mereka yang mati karena aku. Bahkan... aku tak bisa ingat nama sahabat kita yang jatuh kemarin. Ada yang membawa surat untukku. Aku tak tahu di mana surat itu sekarang.”

Lyra muncul dari sisi lain medan, menggandeng seorang anak laki-laki yang kehilangan ayahnya. Bocah itu menatap Kaelen tanpa bicara. Tapi sorot matanya tajam.

“Namanya Terran,” kata Lyra lembut. “Dia satu-satunya yang selamat dari regu utara.”

Kaelen menatap anak itu. Dingin. Hampa.

“Maaf,” ucapnya kaku.

“Untuk apa?” tanya si bocah. “Kau bukan ayahku.”

Kalimat itu menampar Kaelen lebih keras dari pukulan mana pun.

Terran pergi. Diam. Tapi meninggalkan jejak pahit di dada.

Lyra mendekat dan duduk di sampingnya. Tak berkata apa-apa untuk beberapa saat.

“Aku pernah melihatmu seperti ini dulu,” katanya akhirnya. “Saat kita kehilangan Serina. Tapi sekarang... ini lebih dari itu. Kau mulai kehilangan dirimu sendiri, Kaelen.”

Kaelen tak menjawab. 𝙛𝓻𝒆𝓮𝒘𝙚𝙗𝒏𝙤𝙫𝓮𝒍.𝓬𝒐𝙢

“Setiap kali kau menggunakan kekuatan itu, sesuatu dalam dirimu mati. Kau tahu itu, tapi tetap mengulanginya. Kenapa?”

Kaelen menatap tanah. “Karena aku ingin menang.”

“Dengan harga apa?”

“Dengan harga apa pun,” desisnya. Tapi kemudian ia menarik napas berat. “Aku... tidak yakin lagi. Dulu tujuannya jelas. Balas dendam. Keadilan. Menyelamatkan dunia.”

Ia mengangkat wajah. Tatapannya kosong.

“Tapi sekarang... aku bahkan tak tahu apa yang kupelihara.”

Lyra menggenggam tangannya. “Kita masih hidup. Dunia belum berakhir. Itu yang sedang kita pelihara.”

Di perkemahan lawan, Eryon membalut luka di lengan kirinya. Di sekelilingnya, hanya beberapa pasukan tersisa. Elvior tidak terlihat sejak pertempuran malam.

Seorang prajurit mendekat. “Tuan, Grandmaster Elvior menghilang. Kami tidak tahu apakah dia tertangkap, gugur, atau sengaja menyelinap keluar.”

Eryon menatap cahaya pagi. “Kalau dia hidup, dia akan muncul lagi... dan kalau dia gugur, aku yakin dia memilih caranya sendiri.”

Ia berdiri perlahan.

“Sudah waktunya aku bicara dengan Kaelen lagi. Tapi bukan di medan perang.”

Sore itu, Lyra dan Kaelen berjalan di tepi danau, jauh dari tenda komando. Kabut tipis turun bersama embusan angin.

“Aku ingat satu hal tadi malam,” kata Kaelen tiba-tiba.

Lyra menoleh.

“Aku ingat saat kau menyentuh lenganku pertama kali. Di gua itu, tempat kita sembunyi dari badai. Kau berpikir aku sudah mati karena tidak bergerak. Kau menamparku.”

Lyra tersenyum, meski matanya berkaca. “Kau memang pantas ditampar.”

“Kau bilang aku terlalu keras kepala untuk mati.”

“Dan aku tetap percaya itu.”

Kaelen berhenti melangkah.

“Kalau suatu saat aku tidak bisa mengenalimu, Lyra... kalau aku menjadi sesuatu yang kau benci...”

“Biar aku jadi orang yang mengingatmu saat kau lupa,” katanya tenang. “Dan kalau kau tak bisa kembali, aku sendiri yang akan mengakhirimu.”

Kaelen menatap matanya. Serius. Tajam.

“Janji?” bisiknya.

“Janji.”

Malamnya, saat api unggun menyala redup, suara langkah terdengar dari balik perbukitan. Pasukan siaga, tapi Kaelen mengangkat tangan.

“Biarkan dia lewat,” katanya.

Eryon muncul. Sendiri. Tanpa senjata.

Kaelen berdiri dari tempat duduk. Wajah mereka hanya berjarak tiga langkah.

“Bukan dalam bentuk duel,” kata Eryon cepat. “Aku ke sini sebagai orang tua... sebagai seseorang yang ingin menyelamatkan sisa dari dirimu.”

Kaelen mendengus. “Kau datang tanpa senjata. Berani sekali.”

“Karena kau masih punya hati.”

“Aku tak yakin itu masih benar.”

Eryon menatapnya dalam. “Kau sudah melewati garis. Tapi belum terlambat untuk mundur.”

“Dan membiarkan Ordo menyusun ulang kekuatannya? Membiarkan Elvior menyebar dogma lagi? Kau tahu siapa yang kau bela, Eryon.”

Eryon menghela napas. “Aku tidak membela Ordo. Aku membela orang-orang yang tersisa. Anak-anak seperti Terran. Orang-orang biasa yang tidak layak mati demi dendam.”

Kaelen terpaku. Nama itu kembali disebutkan. Dan untuk pertama kalinya, dia tak langsung membantah.

“Jadi kau mau apa?” tanyanya.

“Gencatan senjata. Tiga hari. Biarkan kami mengubur korban, merawat yang selamat. Lalu kalau kau masih ingin perang... kita lanjutkan.”

Kaelen menoleh ke arah Lyra. Diam sesaat.

“Baik,” katanya akhirnya. “Tiga hari.”