The Shattered Light-Chapter 166: – Garis yang Terkikis

If audio player doesn't work, press Reset or reload the page.
Chapter 166: – Garis yang Terkikis

Hening mengisi lembah. Dua pasukan berdiri saling berhadapan, salju musim semi menyelimuti tanah yang basah darah di waktu lampau. Kabut tipis melingkari medan seperti tabir yang menggantungkan ketegangan.

Kaelen dan Eryon masih di tengah, saling menatap. Dulu, pertemuan seperti ini dipenuhi makna. Kini, hanya kebisuan yang menggantungkan beban yang tak pernah selesai diucapkan.

“Apakah ini akhirnya?” Eryon bertanya, suaranya tenang namun dalam.

“Belum,” Kaelen menjawab. “Aku belum merasa cukup kehilangan untuk menyerah.”

Eryon menyipitkan mata. “Kau bahkan tidak sadar lagi apa yang telah hilang darimu.”

Kaelen menghela napas. “Itu bukan urusanmu.”

“Tapi itu urusan dunia.”

Di sisi pasukan Kaelen, Alden dan Lyra memperhatikan percakapan dari kejauhan. Alden menggenggam gagang pedangnya lebih erat.

“Kalau ini berubah jadi duel, Kaelen bisa kalah,” gumamnya.

“Tidak,” kata Lyra. “Bukan karena kekuatan. Tapi karena dia... mungkin tidak ingin menang lagi.”

Alden menoleh. “Maksudmu?”

Lyra menatap Kaelen di kejauhan. “Maksudku, dia mungkin sedang mencari alasan untuk dihentikan.”

“Kau tahu kenapa aku tidak menyerangmu sekarang?” Kaelen bertanya kepada Eryon.

Eryon tersenyum datar. “Karena aku memintamu untuk berpikir dulu?”

“Karena aku tidak yakin apakah aku sedang melawanmu... atau bayangan diriku sendiri.” Kaelen memandang tajam. “Dulu aku ingin keadilan. Sekarang aku hanya ingin... habis. Semua ini. Selesai.”

Eryon menunduk sejenak. “Lucu. Kita berdua ingin hal yang sama, tapi tetap berada di sisi yang berlawanan.”

Langkah berat datang dari belakang. Seorang prajurit muda mendekat Kaelen dengan tergesa.

“Tuan, markas timur diserang.”

Kaelen mengalihkan pandangannya. “Berapa korban?”

“Delapan mati. Dua puluh luka. Satu anak...”

“Anak?” Kaelen terdiam.

Prajurit itu menunduk. “Anak Terran, Tuan. Yang suka menggambar di dinding. Ia... hilang.”

Wajah Kaelen mengeras. Tapi tidak karena amarah. Karena ketakutan.

Bukan karena musuh. Tapi karena ia mulai tidak mengingat seperti apa wajah Terran.

Di kamp, Terran berlutut di depan tenda kosong. Ia menggali tanah dengan tangan telanjang, menangis tanpa suara. Lyra datang, berlutut di sisinya, memegang tangannya yang berdarah karena tanah dan batu.

“Apa yang terjadi?”

“Mereka bilang... mungkin tertinggal saat semua lari. Tapi aku tahu. Dia... dia selalu mengejar cahaya.” Terran menggigit bibirnya. “Dia selalu bilang ingin jadi seperti Kaelen.”

Lyra tak sanggup berkata-kata.

Malam hari, api unggun dibangun di sekitar kamp. Tapi kehangatan tak benar-benar menyentuh siapa pun. Kaelen duduk di depan api, tangannya gemetar saat mencoba menggenggam cangkir teh. Tapi bukan karena cuaca.

Ia tak ingat nama anak itu.

Ia tak ingat... gambar yang pernah ditunjukkan Terran padanya.

Satu-satu, dunia yang ia kenal menjadi kabur. Dan yang paling menakutkan, ia mulai terbiasa dengan kehilangan itu.

Lyra mendekat. Duduk tanpa suara.

“Kau tahu,” katanya pelan, “dulu aku takut kalau kau akan mati dalam perang ini.”

Kaelen tak menoleh.

“Tapi sekarang... aku takut kau akan hidup. Tanpa mengenali siapa pun. Tanpa mengenali dirimu sendiri.”

Kaelen menjawab dengan suara serak, “Aku tidak tahu mana yang lebih buruk.”

Diam panjang.

“Aku tidak akan meninggalkanmu, Kaelen. Meski suatu hari kau tidak lagi tahu namaku.”

Kaelen menoleh. Untuk sepersekian detik, ada kilatan kehangatan. Tapi cepat menghilang.

Esoknya, pasukan Kaelen mundur. Bukan karena kalah. Tapi karena Kaelen memutuskan demikian.

“Perang ini bukan soal kemenangan,” ujarnya pada Alden. “Tapi soal apa yang tersisa setelahnya.”

Alden menatapnya lama. Lalu angguk pelan. “Kita semua hanya ingin sesuatu yang bisa diselamatkan.”

Sementara itu, Eryon kembali ke bentengnya. Di dalam sel, Grandmaster Elvior masih duduk diam.

“Kau tak membunuhnya?” tanya Elvior.

“Tidak,” jawab Eryon. “Aku memberinya waktu.”

Elvior mengangguk. “Lalu, apa yang akan kau lakukan?”

Eryon menatap ke luar jendela. “Mendoakan agar dia memilih jalan yang berbeda dariku.”