The Shattered Light-Chapter 173: – Nafas di Dalam Kegelapan

If audio player doesn't work, press Reset or reload the page.
Chapter 173: – Nafas di Dalam Kegelapan

Langkah mereka bergema di sepanjang lorong sempit tambang tua itu. Dinding batu yang dingin dan lembap seolah berbisik, menyimpan sejarah dari ribuan tangan yang pernah menggali di sana—sebagian besar tak pernah keluar hidup-hidup. Suara tetesan air dari langit-langit seperti hitungan waktu, perlahan tapi pasti menekan batas kesabaran.

Kaelen berjalan paling depan, obor di tangannya nyaris tak cukup menerangi sekeliling. Di belakangnya, empat orang bergerak diam: Lyra, Alden, Saren—ahli perang bawah tanah dari pasukan timur—dan Khevan, pemuda kurir yang bersikeras ikut.

“Kalau tambang ini runtuh, kita terkubur hidup-hidup,” gumam Alden, pelan tapi cukup jelas terdengar.

“Jangan bicara soal kematian sebelum kita lihat cahaya di ujung,” sahut Lyra datar. Matanya awas menelusuri setiap patahan di dinding.

Kaelen hanya mengangguk. Tapi pikirannya jauh lebih gaduh dari lorong sepi itu. Setiap tikungan membawa rasa dejavu aneh, seperti pernah dilalui. Tapi ia tahu itu mustahil. Ia tak pernah ke sini. Atau... pernahkah?

“Berhenti,” bisik Saren, tangan terangkat.

Semua membeku.

Saren menunduk, menyentuh tanah. “Ada getaran kecil... perangkap, mungkin jebakan suara. Ordo Cahaya tahu kita mungkin menyusup.”

Khevan menelan ludah. “Apa kita kembali?”

Kaelen menggeleng. “Tunjukkan jalur alternatif.”

Saren menunjuk lorong samping, lebih sempit, lebih gelap, tapi—katanya—lebih sunyi. Mereka berpaling ke sana, menyelinap satu per satu. Nafas mereka mulai pendek, bukan karena kelelahan, tapi karena ketakutan yang belum menemukan bentuk.

Di lorong sempit itu, Kaelen merasa jantungnya berdetak tidak di dadanya, tapi di tengkuk, di tangan, di pelipis. Ia tahu rasa ini. Ketika sesuatu akan pecah, tapi tak tahu dari mana. Ia sudah kehilangan terlalu banyak—ia tak ingin kehilangan lebih malam ini.

Lyra menyadari hal itu. “Kau tenang?” bisiknya saat mereka merunduk lewat lorong sempit.

Kaelen menjawab tanpa menoleh. “Tidak. Tapi kita tetap berjalan.”

Setelah satu jam berjalan dalam keheningan tegang, mereka tiba di sebuah ruang terbuka. Pilar-pilar batu menopang langit-langit tinggi yang dipenuhi akar menggantung. Udara terasa lebih berat, tapi juga lebih hidup.

“Ini ruang istirahat lama para penambang,” jelas Saren. “Kita bisa menyalakan api kecil. Tapi hanya lima menit.” 𝑓𝓇𝘦ℯ𝘸𝘦𝑏𝓃𝑜𝘷ℯ𝑙.𝑐𝑜𝓂

Mereka duduk melingkar. Obor ditancapkan ke celah batu.

Khevan mengeluarkan roti keras dari kantong. “Ini semua terasa tidak nyata,” gumamnya. “Dulu aku hanya tukang kirim pesan. Sekarang aku ikut pasukan khusus menembus tambang untuk membunuh pemimpin Ordo Cahaya.”

Lyra menoleh. “Kau bisa tetap jadi pengantar pesan.”

“Aku tidak bisa setelah melihat yang mereka lakukan ke keluargaku,” balasnya pelan.

Alden mengangguk. “Semua dari kita dulu bukan siapa-siapa. Sekarang kita di sini bukan karena hebat—tapi karena kita tak bisa diam.”

Kaelen menatap api kecil itu. Ia ingin mempercayai kata-kata Alden. Tapi sebuah suara di dalam dirinya terus berkata: Dan berapa banyak yang harus mati agar kau terus merasa kau benar?

Tiba-tiba... BUKKK!

Tanah di bawah mereka berguncang.

Saren berdiri cepat. “Seseorang menjatuhkan reruntuhan! Kita harus keluar sekarang!”

Mereka berlari, api mati dalam satu hembusan angin. Gelap. Hanya suara napas, langkah tergesa, dan teriakan Saren yang membimbing.

Mereka sampai di lorong utama kembali—tapi salah satu dinding sudah roboh, menghalangi jalan keluar.

“Ini jebakan. Mereka tahu kita masuk!” pekik Alden.

“Tenang!” bentak Kaelen. Ia menatap ke depan. Ada cahaya samar dari ujung lorong. “Kita lanjut ke arah benteng. Ini belum berakhir.”

Di luar tambang, jauh di atas tanah, pos penjaga Ordo sudah menyadari kehadiran mereka.

Di ruang pemantau benteng, seorang pemimpin muda Ordo berkata, “Pasukan gerilya menyusup dari tambang. Kirim Unit Bayangan ke dalam. Tak usah ditawan. Bunuh saja semua.”

Kembali ke bawah tanah.

Mereka tiba di gerbang bawah benteng—pintu besi tua dengan simbol Ordo yang mulai terkelupas. Kaelen menghela napas, lalu mengangguk ke Alden.

Alden memasang ledakan kecil. “Saat ini meledak, tidak akan ada jalan kembali,” katanya.

Kaelen tak menjawab. Ia sudah tahu itu sejak melangkah ke tambang.

BOOM!

Pintu besi runtuh dengan debu dan batu beterbangan. Mereka masuk cepat.

Di dalam, lorong menuju benteng lebih terang, tapi juga lebih sunyi. Terlalu sunyi.

“Kau rasa mereka tahu?” tanya Lyra.

Kaelen mengangguk. “Mereka tahu. Tapi mereka belum tahu seberapa besar yang akan kita lakukan.”

Saat mereka mendekati pusat benteng, langkah mereka terhenti.

Di dinding lorong, terukir puluhan nama. Nama-nama dari masa lalu.

Kaelen berhenti. Tangan gemetar.

“Kaelen...” bisik Lyra. “Nama-nama itu...”

Kaelen menyentuh satu nama di tengah dinding.

Itu nama ibunya.

Yang tak pernah ia ingat lagi... tapi kini, tangannya gemetar seperti mengenali.