The Shattered Light-Chapter 24: – Langkah di Ambang Bahaya

If audio player doesn't work, press Reset or reload the page.

Chapter 24 - – Langkah di Ambang Bahaya

Setelah semalaman bergelut dengan dinginnya sungai dan kelelahan yang menyiksa, Kaelen dan kelompoknya kembali menapaki hutan lebat. Kabut masih menyelimuti pepohonan, menciptakan bayangan samar yang membuat mereka semakin waspada. Suara gemuruh sungai perlahan menjauh di belakang mereka, digantikan oleh kesunyian yang menegangkan.

Varrok berjalan paling depan, mata tajamnya terus mengamati sekeliling. Darek dan Aria berjaga di sisi kiri dan kanan, sementara Serina merapatkan busurnya, siap mengangkatnya kapan saja. Lyra berada di samping Kaelen, langkahnya tertatih, tetapi ia berusaha menjaga ketenangan.

"Bagaimana bahumu?" tanya Lyra pelan, merujuk pada luka yang Kaelen dapatkan dalam pertempuran sebelumnya.

Kaelen menoleh, mencoba tersenyum. "Masih bisa bergerak. Aku lebih khawatir tentang kalian."

Lyra menghela napas. "Aku baik... untuk saat ini."

Perjalanan mereka semakin menanjak, memasuki jalur berbatu yang licin karena embun pagi. Setiap langkah harus hati-hati. Varrok tiba-tiba mengangkat tangan, memberi isyarat berhenti. Semua menahan napas.

"Apa itu?" bisik Serina.

Varrok menunjuk jejak kaki yang samar di tanah basah. Tidak banyak, tetapi cukup jelas bagi mata seorang pemburu.

"Mereka masih di sekitar sini," gumam Varrok. "Pengintai atau mungkin lebih..."

Kaelen merasakan ketegangan merambat di tulangnya. Eryon pasti belum menyerah. Mereka diikuti—dan itu berarti bahaya bisa muncul kapan saja.

"Haruskah kita berbalik?" tanya Darek dengan suara rendah.

Varrok menggeleng. "Tidak. Kita terlalu jauh masuk. Mundur berarti memberi mereka kesempatan untuk mengepung kita. Kita lanjut... tapi lebih hati-hati."

Mereka melanjutkan perjalanan, kali ini lebih lambat. Setiap dahan yang patah, setiap gesekan daun, membuat jantung Kaelen berdetak lebih cepat. Ia tahu musuh ada di sekitar, meski tak terlihat.

Beberapa jam kemudian, mereka mencapai sebuah cekungan lembah kecil yang tertutup rapat oleh pepohonan. Di sana, Varrok memutuskan untuk berhenti sejenak.

"Kita perlu merencanakan langkah selanjutnya," kata Varrok. "Jika mereka benar-benar ada di sekitar, kita harus bersiap."

Kaelen duduk di atas batu, menatap langit yang tertutup dedaunan. Ia merasa tubuhnya lelah, tetapi pikirannya lebih lelah lagi. Setiap langkah yang diambil terasa seperti tarikan menuju jurang gelap yang tak terlihat.

Serina duduk di sebelahnya. "Aku tahu kau memikul beban besar... Tapi jangan biarkan itu menghancurkanmu."

Kaelen menatapnya, mendapati kekhawatiran yang tulus di mata Serina. Ia ingin menjawab, ingin mengatakan bahwa ia baik-baik saja, tapi kata-kata itu terasa seperti kebohongan.

"Kau tahu aku akan melindungi kalian," ujar Kaelen akhirnya.

Serina tersenyum tipis, meski matanya masih menyimpan kecemasan. "Dan kami juga akan melindungimu, Kaelen. Kita bersama dalam ini."

Obrolan mereka terputus ketika Varrok tiba-tiba berdiri, ekspresinya tegang. Ia mendengar sesuatu—suara langkah kaki, samar namun mendekat.

"Mereka datang," bisik Varrok.

Kaelen bangkit, mencabut pedangnya. Yang lain juga bersiap. Napas mereka tertahan. Dari balik pepohonan, muncul prajurit Ordo Cahaya, bersenjata tombak dan pedang ringan. Mereka terkejut melihat kelompok Kaelen, tetapi segera mengangkat senjata.

"Habisi mereka!" seru salah satu prajurit.

Pertempuran pecah seketika. Varrok menghadapi dua prajurit sekaligus, tebasannya cepat dan mematikan. Darek dan Aria saling melindungi punggung, menangkis serangan tombak musuh. Serina melepaskan anak panah dengan presisi, menembus dada salah satu prajurit.

Kaelen berhadapan dengan prajurit terakhir. Pedang mereka saling beradu, percikan api beterbangan. Kaelen melancarkan serangan bertubi-tubi, memaksa lawannya mundur. Namun, prajurit itu terlatih, mampu menangkis dengan cekatan.

Dorongan kekuatan gelap itu muncul lagi dalam tubuh Kaelen. Suara berbisik di kepalanya.

"Gunakan aku... Akhiri mereka... Selamatkan orang-orangmu..."

Kaelen mengeraskan rahangnya. Ia menahan dorongan itu, memilih mengandalkan kekuatan dirinya sendiri. Dengan gerakan cepat, ia menghindari tusukan lawan, lalu membalas dengan tebasan lurus ke perut prajurit itu.

Darah segar mengalir. Prajurit itu terjatuh, mengerang kesakitan sebelum akhirnya diam.

Ketika pertempuran berakhir, tubuh-tubuh musuh tergeletak di tanah. Kaelen menatap tangannya yang berlumuran darah. Ia menang, tetapi perasaan hampa kembali menyelimuti dadanya.

Updated from freewёbnoνel.com.

"Kita harus segera pergi. Suara pertempuran ini bisa menarik lebih banyak musuh," ucap Varrok.

Semua mengangguk. Mereka mengambil barang-barang dengan cepat dan melanjutkan perjalanan, menjauh dari tempat itu.

Kaelen berjalan di barisan belakang. Di dalam dirinya, pertempuran lain terus berlangsung—antara kekuatan yang ia tolak dan rasa takut kehilangan orang-orang yang ia cintai.

Lyra berjalan mendekat, menatap Kaelen dengan lembut. "Kau tak apa-apa?"

Kaelen tersenyum samar. "Aku baik... selama kalian baik."

Lyra menggenggam tangannya sesaat, memberi kekuatan dalam diam.

Langkah demi langkah, mereka bergerak di ambang bahaya. Dan Kaelen tahu, semakin jauh mereka melangkah, semakin dekat pula ia pada hari di mana ia harus memilih—antara kekuatan... atau kenangan.