The Shattered Light-Chapter 49: – Kabut di Antara Kepercayaan
Chapter 49 - – Kabut di Antara Kepercayaan
Malam merambat lambat, dinginnya menusuk hingga ke tulang. Api unggun yang menyala di tengah pos menjadi satu-satunya sumber kehangatan, namun cahaya itu terasa rapuh di tengah kegelapan yang terus mengintai dari hutan. Kabut tipis masih menyelimuti sekitar pos, menciptakan kesan seakan bayangan di balik pepohonan bergerak setiap kali mereka berkedip.
Kaelen berdiri di tepi pos, pandangannya menyapu sekeliling. Rhal berjaga di menara, sementara Varrok dan beberapa prajurit duduk melingkar, memperbaiki senjata mereka. Balrik tampak berusaha menahan nyeri sambil membersihkan bilah kapaknya.
"Aku muak dengan ketakutan ini," gumam Balrik pelan, suaranya bergetar.
Varrok mengangkat alis. "Kita semua muak. Tapi rasa takut itulah yang membuat kita tetap hidup. Jangan abaikan itu. Ketakutan adalah pengingat bahwa kita masih bernapas."
Kaelen menghampiri mereka. Ia mencoba menjaga nada suaranya tetap tenang, meski pikirannya dipenuhi kekhawatiran. "Varrok benar. Kita tidak bisa menganggap ini perang biasa. Musuh yang kita hadapi... mereka bukan manusia lagi. Kita harus tetap waspada. Bahkan sesama kita pun... bisa jadi musuh tanpa kita sadari."
Balrik menghela napas berat. "Aku hanya ingin pulang. Jika kita punya tempat yang bisa disebut rumah lagi."
Hening sejenak menyelimuti mereka. Hanya suara api yang berderak pelan dan desir angin dingin yang melewati celah-celah pagar kayu lapuk.
Serina dan Lyra duduk sedikit menjauh, mengamati suasana. Serina memberanikan diri bicara lebih dulu.
"Apa menurutmu Kaelen... baik-baik saja?" bisiknya.
New novel 𝓬hapters are published on freёwebnoѵel.com.
Lyra menatap Kaelen yang berdiri tegap di antara para prajurit. Wajahnya tampak keras, dingin, seperti beban dunia ada di pundaknya.
"Dia berubah... sejak pertempuran itu. Aku tahu dia kuat, tapi aku takut... sesuatu mulai menggerogoti jiwanya," jawab Lyra lirih, matanya berkaca-kaca.
Serina menunduk, jari-jarinya gemetar halus. "Aku takut kehilangan dia. Bukan hanya nyawanya... tapi dirinya. Aku takut dia menjadi... seperti mereka yang bermata hitam itu."
Percakapan mereka terhenti ketika suara Rhal dari atas menara pengawas terdengar.
"Gerakan di timur! Aku melihat bayangan!"
Semua langsung bersiaga. Kaelen mencabut pedangnya, Varrok memberi isyarat kepada prajurit untuk mengambil posisi. Panah ditarik, ujung pedang berkilat di bawah cahaya bulan samar. Napas mereka tertahan, keringat dingin mulai mengalir meskipun udara begitu menusuk.
Dari balik pepohonan, terdengar langkah kaki tergesa-gesa. Sosok yang muncul membuat mereka menahan napas. Itu Joren, napasnya memburu, tubuhnya kotor dan lecet.
"Kaelen! Aku menemukan sesuatu! Aku menemukan mayat prajurit Ordo... tapi tubuhnya membusuk seperti sudah berminggu-minggu, padahal dia baru mati beberapa jam lalu. Ada simbol aneh di dadanya—cahaya yang retak. Aku pikir ini... semacam ritual. Ini bukan hanya pertempuran biasa. Ini sihir kegelapan."
Kaelen mengernyit, hatinya makin berat. Simbol cahaya retak... seolah melambangkan kehancuran yang perlahan menggerogoti dunia mereka.
"Di mana mayat itu sekarang?" tanya Kaelen, suaranya dingin namun tertekan.
"Aku tinggalkan di sana... aku takut disentuh lebih lama. Udara di sekitarnya... berat, seperti menghimpit dada. Aku merasa dia... melihatku meski sudah mati. Aku bersumpah aku mendengar bisikan samar di telingaku," kata Joren dengan suara serak.
Varrok mengepalkan tangan. "Berarti ini lebih buruk dari dugaan kita. Kita harus bersiap untuk kemungkinan terburuk. Jika mereka bisa menghidupkan yang mati, siapa pun bisa jadi ancaman. Bahkan kita."
Kaelen menatap mereka semua. "Besok pagi, aku akan pergi bersama Rhal dan Joren untuk memeriksa mayat itu. Kita harus tahu apa yang kita hadapi. Yang lain, tetap di pos dan perkuat pertahanan. Jangan ada yang keluar sendirian."
Serina terlihat cemas. "Kaelen, apa ini... sepadan risikonya? Bagaimana kalau itu jebakan? Atau... mayat itu bisa hidup lagi?"
Kaelen menatapnya dengan lembut, meski matanya menyimpan ketegasan. "Kita tak punya pilihan, Serina. Kita butuh jawaban. Dan aku tidak akan membiarkan ketakutan membuat kita diam di sini sampai kita habis satu per satu."
Serina menunduk, tak bisa membantah. Lyra menggenggam tangannya, memberi dukungan.
Malam itu, penjagaan semakin diperketat. Namun, di antara para prajurit, bayang-bayang kecurigaan perlahan tumbuh. Setiap gerakan kecil diperhatikan, setiap tatapan terasa mengandung pertanyaan. Balrik terlihat gelisah, sementara Varrok diam-diam mengamati gerak-gerik semua orang, termasuk Garel.
Kaelen berbaring di tendanya, namun matanya tetap terbuka. Ia memikirkan simbol cahaya retak itu. Apakah ini pertanda kejatuhan Ordo? Atau lebih dari itu—pertanda bahwa cahaya yang selama ini mereka yakini telah ternoda? Atau mungkin... cahaya itu sendiri telah berubah menjadi ancaman?
Di sudut pos, Garel memperhatikan semuanya dalam diam. Senyumnya samar, hampir tak terlihat. Ia tahu, kepercayaan yang mulai retak itu lebih berbahaya daripada serangan musuh mana pun. Dan ia hanya tinggal menunggu... hingga waktunya tiba. Ia mencatat dalam pikirannya—Balrik lemah, Joren takut, Kaelen bimbang. Malam ini, benih keraguan telah tumbuh subur.