The Shattered Light-Chapter 50: – Bisikan di Antara Mayat

If audio player doesn't work, press Reset or reload the page.

Chapter 50 - – Bisikan di Antara Mayat

Fajar merayap perlahan di balik kabut tebal yang menyelimuti pos. Udara pagi terasa menusuk kulit, membawa ketegangan yang menggantung di antara para prajurit. Suara burung-burung hutan tak terdengar, seakan alam pun menahan napas, menanti sesuatu yang buruk terjadi.

Kaelen berdiri di depan pintu gerbang kayu, mengenakan mantel kulit tebal untuk melawan dingin. Di sampingnya, Rhal memeriksa belati di pinggang, sementara Joren menggenggam busurnya dengan tangan yang sedikit gemetar. Wajahnya masih menunjukkan sisa ketakutan dari kejadian semalam.

Varrok menghampiri mereka dengan ekspresi tegas.

"Pastikan kalian kembali sebelum matahari tenggelam. Jika kalian tidak kembali, kami akan menganggap yang terburuk," katanya sambil menatap Kaelen.

Kaelen mengangguk. "Kami akan hati-hati. Jaga pos ini. Aku percayakan semua padamu."

Serina dan Lyra berdiri tak jauh, memperhatikan. Serina tampak ingin mengatakan sesuatu, namun ragu. Akhirnya, ia melangkah maju.

"Kaelen... hati-hati," ucapnya lirih.

Kaelen tersenyum tipis, mencoba menenangkan. "Aku akan kembali. Aku janji."

Dengan isyarat pelan, Kaelen, Rhal, dan Joren mulai melangkah masuk ke dalam hutan yang dibalut kabut tebal. Suasana langsung berubah begitu mereka meninggalkan pos. Keheningan hutan begitu menekan, hanya suara langkah kaki mereka yang terdengar. Kabut semakin tebal, membatasi pandangan mereka hingga hanya beberapa meter ke depan. Bau tanah basah bercampur aroma anyir samar mengiringi perjalanan mereka.

"Rhal, tetap di sisi kiri. Joren, jaga bagian belakang. Jangan ada celah," bisik Kaelen.

Rhal mengangguk tegas, sementara Joren tampak sedikit gugup, namun ia tetap mengikuti.

Perjalanan terasa panjang meski baru berjalan setengah jam. Joren beberapa kali menoleh ke belakang, seakan takut sesuatu mengikuti mereka. Di antara batang-batang pohon, Kaelen merasa seperti diawasi, meskipun ia tahu itu mungkin hanya pikirannya yang dipermainkan ketakutan.

"Berhenti. Kita istirahat sebentar di sini," kata Kaelen sambil menunjuk batang pohon tumbang.

Mereka duduk, mengatur napas. Rhal mengamati sekeliling, sementara Joren mengusap dahinya yang berkeringat meski udara dingin.

"Kaelen... apa menurutmu kita bisa menghadapi ini? Maksudku... kalau yang kita lawan bukan manusia lagi?" tanya Joren dengan suara bergetar.

Kaelen menatapnya. "Aku tidak tahu, Joren. Tapi kita harus. Karena kalau kita menyerah sekarang, mereka akan menghancurkan semua yang tersisa."

Rhal menimpali, suaranya tegas. "Ketakutan hanya akan membuat kita lebih mudah dibunuh. Tetap kuat. Kita punya Kaelen di sini. Itu cukup."

Joren mengangguk pelan, meski wajahnya masih penuh kekhawatiran.

Setelah beberapa saat, mereka melanjutkan perjalanan. Akhirnya, mereka tiba di tempat yang dimaksud Joren. Bau busuk langsung menyergap hidung mereka. Di tengah semak belukar, tergeletak mayat seorang prajurit Ordo Cahaya. Tubuhnya membusuk dengan cepat, jauh lebih cepat dari yang seharusnya. Di dada mayat itu, terlihat simbol cahaya yang retak, seolah terukir dengan paksa menggunakan benda tajam.

Kaelen berjongkok, meneliti simbol itu dengan saksama. Tiba-tiba, rasa dingin menjalari tubuhnya, dan suara bisikan samar terdengar di telinganya.

"Kaelen... Kaelen... pengkhianat..."

Kaelen tersentak, mundur selangkah. Rhal memperhatikan.

"Ada apa?" tanya Rhal tajam.

Kaelen menggeleng, mencoba menenangkan dirinya. "Tidak... hanya perasaanku saja."

Namun, Joren pucat. "Aku mendengarnya juga. Bisikan. Sama seperti semalam."

Rhal mencabut pedangnya. "Kita tidak sendiri."

Semak-semak di sekitar mereka bergerak pelan. Bayangan hitam melintas cepat. Kaelen berdiri tegap, pedangnya terhunus.

"Siap-siap!" perintahnya.

Tiba-tiba, sosok dengan mata hitam melompat dari balik pepohonan. Tubuhnya kaku, bergerak seperti boneka yang dikendalikan. Rhal menebasnya, namun makhluk itu tetap bergerak meski terluka.

"Sasar kepala mereka!" teriak Kaelen.

Joren melepaskan panah, menancap tepat di kepala makhluk itu. Ia roboh tanpa suara.

New n𝙤vel chapters are published on freeweɓnøvel.com.

Namun, suara langkah lain terdengar. Mereka dikepung.

"Rhal, Joren, rapatkan formasi! Jangan biarkan mereka memisahkan kita!" seru Kaelen.

Pertempuran singkat tapi brutal pun terjadi. Kaelen bergerak cekatan, pedangnya menebas kepala satu demi satu makhluk bermata hitam. Rhal bertarung dengan ganas, sementara Joren gemetar, namun berhasil membunuh satu musuh dengan panah jarak dekat.

Setelah beberapa menit, hutan kembali hening. Tubuh-tubuh makhluk itu berserakan, mengeluarkan bau busuk yang menyengat.

Kaelen terengah-engah, darah menodai pedangnya. "Kita harus pergi. Mereka pasti punya lebih banyak."

Rhal mengangguk. Joren tampak ingin muntah, namun ia berusaha bertahan.

Saat mereka mundur perlahan, Kaelen menoleh sekali lagi ke mayat dengan simbol cahaya retak. Bisikan itu kembali muncul, namun kini lebih jelas.

"Kaelen... pengkhianatan... sudah di dekatmu..."

Kaelen menggertakkan giginya. Sekilas, wajah Garel melintas di benaknya. Ia tak bisa membedakan apakah itu hanya suara dalam kepalanya, atau memang sesuatu yang nyata.

Mereka kembali ke pos dengan napas memburu. Begitu melihat mereka, Serina berlari mendekat.

"Kaelen! Kau baik-baik saja?"

Kaelen mengangguk, meski pikirannya jauh.

Varrok menghampiri, melihat darah di pedang mereka. "Apa yang terjadi?"

Kaelen menatap semua orang. "Kita dikepung... dan musuh kita... jauh lebih kuat dari yang kita duga. Mereka sudah dekat. Kita harus bersiap untuk perang."

Di sudut pos, Garel memperhatikan Kaelen dengan tatapan tajam. Senyumnya tipis. Ia mencatat sesuatu di atas sepotong perkamen. Bisikan kegelapan telah menyusup, dan retakan itu semakin melebar.