The Shattered Light-Chapter 84: – Kebenaran yang Terkubur
Chapter 84 - – Kebenaran yang Terkubur
Kaelen berdiri kaku di hadapan pusaran cahaya yang terus berputar, suara Serina masih bergema di benaknya. Rasa dingin merayapi punggungnya, tetapi ia tak lagi ragu. Ia telah memutuskan untuk melangkah lebih dalam, meski itu berarti menghadapi semua luka yang pernah ia lupakan.
Ia mengulurkan tangannya sekali lagi.
Begitu jari-jarinya menyentuh pusaran itu, gelombang rasa sakit menghantam kepalanya. Napasnya tersengal, seakan ada kekuatan yang mencoba menariknya kembali. Dadanya sesak, seolah-olah ada sesuatu yang merobek jiwanya, memaksanya melihat apa yang telah ia lupakan.
Ia berdiri di tengah lorong panjang yang tak berujung. Udara di sekelilingnya dingin dan lembap, seolah ia melangkah ke dalam dunia yang telah lama terkunci. Cahaya redup berkelip di sepanjang dinding, tetapi semakin ia berjalan, semakin redup cahaya itu, seakan menghindarinya. Langkah kakinya menggema, tetapi suara itu bukan hanya miliknya. Ada suara langkah lain, samar, menyertainya.
"Kaelen..."
Ia menoleh cepat. Sosok samar berdiri di ujung lorong, tubuhnya terselimuti kabut. Sosok itu tampak familiar, tetapi wajahnya tetap kabur, seperti ingatan yang hampir bisa ia sentuh namun selalu menjauh.
"Serina?" suaranya hampir berbisik.
Sosok itu tidak menjawab. Sebaliknya, ia berbalik dan berjalan menjauh, bayangannya perlahan menghilang dalam kegelapan.
Kaelen mempercepat langkahnya. "Tunggu!"
Setiap langkah semakin berat. Napasnya memburu. Udara terasa semakin dingin, dan dinding di sekelilingnya mulai berubah, dari batu menjadi reruntuhan medan perang yang ia kenal.
Ia kembali ke masa itu.
Hujan deras menampar wajahnya. Bau darah memenuhi udara. Suara dentingan pedang bertabrakan dengan jeritan para prajurit yang gugur. Pasukan Ordo Cahaya bergerak seperti gelombang yang tak henti-hentinya menekan pertahanan terakhir mereka. Serina berdiri di depannya, tubuhnya tertutup luka, tetapi tangannya tetap erat menggenggam busur.
"Kita tak bisa menahan mereka lebih lama," kata Serina, suaranya terengah-engah.
Kaelen merasakan sesuatu dalam dirinya—ketakutan yang ia tak ingat pernah ada. "Kita harus mundur. Kita akan menemukan cara lain."
Serina tersenyum tipis, tetapi di balik senyuman itu, ada kepastian yang membuat jantung Kaelen berdegup lebih kencang.
"Aku akan menahan mereka di sini."
Follow curr𝒆nt nov𝒆ls on fɾeeweɓnѳveɭ.com.
Kaelen menggeleng keras. "Jangan bodoh! Kita pergi bersama!"
Tetapi Serina sudah mengangkat busurnya, menembakkan anak panah bertubi-tubi ke arah musuh. Kaelen ingin menariknya pergi, tetapi tiba-tiba cahaya putih menyilaukan meledak di sekeliling mereka. Pasukan Ordo Cahaya menghancurkan garis pertahanan terakhir.
Dan kemudian, di antara kilatan pedang dan hujan deras, Kaelen melihatnya.
Eryon.
Pedangnya bergerak cepat, menusuk menembus dada Serina.
"Tidak!!!"
Kaelen berlari, tetapi segalanya melambat. Serina terjatuh, darah mengalir dari bibirnya, matanya mencari sesuatu... atau seseorang.
Kaelen berlutut di sampingnya, mendekap tubuhnya yang melemah.
Serina tersenyum samar, meski kesakitan. "Kaelen... jangan lupakan..."
Kaelen menggenggam tangannya erat. "Aku tidak akan melupakanmu! Aku janji!"
Tetapi Serina hanya tersenyum, dan kemudian dunia kembali hancur.
Kaelen tersentak, terlempar keluar dari pusaran cahaya. Napasnya berat, tubuhnya gemetar, dan air mata yang tak ia sadari mulai mengalir di pipinya.
Ia mengingat segalanya.
Penjaga Ingatan berdiri di dekatnya, menatapnya dengan tenang. "Sekarang kau tahu."
Kaelen mengepalkan tinjunya. "Aku telah melupakan seseorang yang seharusnya kuingat selamanya."
"Kini, kau memiliki pilihan," kata Penjaga Ingatan. "Terus maju dengan ingatan yang telah kembali... atau menguburnya sekali lagi."
Kaelen menatap pusaran cahaya yang kini mulai meredup. Ia tahu, apa pun pilihannya, hidupnya tidak akan pernah sama lagi.
"Ingatlah, Kaelen," suara Penjaga Ingatan lebih dalam kali ini, "Setiap ingatan membawa konsekuensinya. Rasa bersalah, kemarahan, keputusasaan—semua akan kembali seperti luka yang belum sembuh. Kau yakin ingin menanggungnya?"
Kaelen tidak ragu lagi. Ia berdiri perlahan, matanya penuh tekad. "Aku tidak akan melupakannya lagi."
Saat Kaelen berbalik, angin di gua itu berubah. Samar, di antara bayangan yang bergetar di dinding, ia melihat sesuatu—sebuah siluet yang familiar. Suara Serina berbisik sekali lagi, kali ini lebih jelas. "Aku menunggumu..."
Dan untuk pertama kalinya sejak lama, Kaelen merasa utuh kembali.