The Shattered Light-Chapter 85: – Bayangan di Ambang Kematian
Chapter 85 - – Bayangan di Ambang Kematian
Kaelen berdiri diam di tengah gua yang sunyi. Bayangan Serina yang samar masih bergetar di dinding batu, seolah enggan menghilang. Kata-katanya—Aku menunggumu—terngiang di benaknya, lebih nyata dari sekadar ingatan yang kembali.
Penjaga Ingatan menatapnya tanpa ekspresi. "Kau telah mengambil keputusan. Kini, jalan di hadapanmu akan lebih berat dari sebelumnya."
Kaelen menarik napas dalam, menenangkan dirinya. "Jika aku telah mendapatkan kembali ingatanku, apakah ada cara untuk menemukan jejak Serina? Sesuatu yang lebih dari sekadar bayangan?"
Penjaga itu mengamati Kaelen sejenak sebelum akhirnya mengangkat tangannya, menunjuk ke bagian terdalam dari gua. "Ada sesuatu yang masih tersembunyi dalam ingatanmu. Untuk menemukannya, kau harus kembali ke tempat terakhir kau melihatnya."
Kaelen mengerutkan kening. "Medan perang?"
"Tidak," jawabnya. "Di antara kehidupan dan kematian."
Kaelen merasa jantungnya berdetak lebih cepat. "Apa maksudmu?"
"Ketika kau menggunakan kekuatanmu untuk menyelamatkan yang lain, ingatanmu tentang Serina terhapus. Tetapi kau tidak hanya melupakan dirinya. Kau juga menghapus keberadaannya dari dunia ini."
Kaelen membeku di tempatnya. "Tidak... itu tidak mungkin."
Penjaga Ingatan mengangguk. "Jiwanya tidak pernah benar-benar pergi, tetapi juga tidak benar-benar hidup. Dia tertinggal di antara dua dunia, terjebak dalam kekosongan yang kau ciptakan."
Pikiran Kaelen berputar cepat. Jika Serina benar-benar berada di antara dua dunia, itu berarti ada kemungkinan ia bisa mengembalikannya. Tapi bagaimana?
"Apa yang harus kulakukan?" tanyanya.
Penjaga Ingatan mendekat, suaranya lebih pelan. "Kau harus masuk lebih dalam ke dalam jiwamu sendiri, menemukan bagian yang hilang, dan membawanya kembali."
Kaelen mengepalkan tangannya. "Dan jika aku gagal?"
"Jika kau gagal," katanya dengan nada dingin, "kau mungkin tidak akan kembali."
Keheningan menggantung di udara. Namun, Kaelen tidak ragu. Jika ada kesempatan, sekecil apa pun, untuk menemukan Serina lagi, ia tidak akan menyia-nyiakannya.
"Aku siap," katanya dengan mantap.
Penjaga Ingatan menatapnya sejenak sebelum mengangkat kedua tangannya. Cahaya keemasan mulai berpendar di sekitar Kaelen, semakin terang, semakin intens. Dunia di sekelilingnya berputar, dan sebelum ia bisa menarik napas terakhir di dunia nyata, kesadarannya terseret ke dalam kegelapan.
Saat Kaelen membuka matanya, ia tidak lagi berada di gua. Ia berdiri di hamparan tanah kosong, dikelilingi oleh bayangan yang terus bergerak. Langit di atasnya berwarna abu-abu gelap, tanpa bintang, tanpa cahaya. Udara di sekelilingnya berat, seakan dipenuhi oleh bisikan yang tak terdengar.
Ia merasakan sesuatu di udara. Sebuah kehadiran yang familiar.
"Serina?" suaranya bergetar.
Tidak ada jawaban, tetapi ada suara langkah kecil di kejauhan.
Kaelen berlari ke arah suara itu, menerobos kabut yang menyelimuti tempat ini. Semakin jauh ia berlari, semakin dingin udara di sekelilingnya. Jari-jarinya mulai mati rasa, tetapi ia tidak peduli.
Lalu, ia melihatnya.
Di tengah kegelapan, di antara bayangan yang berputar tanpa arah, berdiri seorang wanita. Rambut hitam panjangnya berkibar pelan, dan busurnya tergenggam lemah di tangannya. Serina.
Kaelen berhenti, napasnya tercekat. "Serina..."
Wanita itu perlahan menoleh, dan untuk pertama kalinya setelah sekian lama, mata mereka bertemu. Mata Serina yang dulu tajam kini terlihat kosong, seolah jiwanya telah lama terombang-ambing di antara kehampaan.
"Kaelen?" suaranya kecil, hampir tidak terdengar.
Kaelen melangkah maju. "Ini aku, Serina. Aku datang untuk membawamu pulang."
Serina memiringkan kepalanya sedikit, seakan mencoba mengingat. Kemudian, tiba-tiba, ekspresinya berubah. Mata kosongnya mulai bersinar dengan cahaya aneh, dan tubuhnya bergerak dalam posisi bertahan.
"Kau bukan Kaelen," katanya pelan, tetapi penuh bahaya. "Kaelen telah melupakanku. Kau... hanya bayangan."
Kaelen merasakan hawa dingin menjalari tubuhnya. "Tidak, aku benar-benar di sini! Aku mengingatmu, aku mengingat segalanya!"
Serina tidak bergerak. Tangannya perlahan meraih busurnya, dan dalam sekejap, anak panah hitam muncul di genggamannya.
"Buktikan padaku," katanya dengan suara yang nyaris seperti bisikan angin. "Buktikan bahwa kau bukan sekadar hantu lain yang mencoba menipuku."
Lalu, ia menembakkan panahnya langsung ke arah Kaelen.
Kaelen nyaris tidak sempat menghindar. Panah itu melesat cepat, hanya beberapa inci dari wajahnya. Ia bisa merasakan energi gelap yang menyertainya, sesuatu yang tidak pernah dimiliki Serina sebelumnya.
"Serina! Ini aku!" Kaelen berusaha mendekat, tetapi Serina menyiapkan panah berikutnya.
"Semuanya bohong," katanya pelan. "Aku sudah mati, Kaelen. Aku tidak bisa kembali."
Kaelen menggertakkan giginya. "Aku tidak akan membiarkanmu tetap di sini. Kau tidak mati! Kau hanya terjebak, dan aku akan membawamu pulang, apa pun yang terjadi!"
Serina menatapnya lama, lalu menarik tali busurnya sekali lagi. "Kalau begitu... kalahkan aku."
Angin di sekeliling mereka mulai berputar lebih kencang, dan kegelapan semakin pekat. Kaelen tahu ia tidak punya pilihan lain.
Jika ia ingin menyelamatkan Serina, ia harus bertarung melawannya terlebih dahulu.
Dengan hati yang berat, ia menghunus pedangnya. "Kalau ini satu-satunya cara..."
Serina melepaskan panahnya, dan Kaelen berlari ke arahnya.
Tiga panah melesat bersamaan, masing-masing menuju titik vitalnya. Kaelen nyaris tidak sempat menangkisnya dengan pedangnya, tetapi satu panah berhasil menggores bahunya, meninggalkan luka dingin seperti es.
Serina bergerak cepat, melompat ke udara, melepaskan serangan bertubi-tubi tanpa ragu. Kaelen bertahan mati-matian, hatinya berteriak bahwa ini bukan Serina yang ia kenal.
Saat pedangnya hampir mencapai Serina, tiba-tiba cahaya hitam meledak dari tubuhnya. Sebuah suara menggema di antara kegelapan.
Read 𝓁atest chapters at fгeewёbnoѵel.cσm Only.
"Cukup."
Dalam sekejap, dunia bayangan itu mulai runtuh di sekeliling mereka.