The Shattered Light-Chapter 14: – Kegelapan di Ujung Nafas
Chapter 14 - – Kegelapan di Ujung Nafas
Kaelen berlari sekuat tenaga, derap kakinya berpadu dengan suara napas tersengal dari rekan-rekannya. Bayangan Pengintai Hitam masih mengikuti mereka di belakang, cepat dan tak kenal lelah. Jeritan panah yang melesat melintas di samping telinga Kaelen, menancap di batang pohon.
"Ke kiri! Lewati celah batu itu!" teriak Varrok sambil memberi isyarat.
Mereka membelok tajam, menyelinap di antara dua batu besar yang sempit. Darek membantu Aria yang nyaris tergelincir, sementara Kaelen menarik Lyra agar tetap dekat. Serina menoleh ke belakang, melepaskan satu lagi anak panah, mengenai bahu salah satu Pengintai Hitam yang merangsek mendekat. Namun, sosok itu hanya sedikit tersentak, lalu terus mengejar seperti mesin pembunuh tanpa rasa sakit.
"Mereka tidak seperti manusia biasa..." bisik Serina dengan napas terengah.
Kaelen merasakan desakan kekuatan gelap di dadanya semakin kuat. Sekilas, ingatannya melayang ke malam itu—malam ketika ia pertama kali mengetahui harga kekuatan ini. Di bawah hujan deras, tubuhnya berlumuran darah setelah membantai sekelompok prajurit Cahaya yang membakar ladang di desa terpencil. Ia menang, tetapi saat terbangun keesokan harinya, ia tak lagi mampu mengingat suara lembut ibunya. Saat itu, Varrok menatapnya dengan berat, lalu berkata, 'Setiap kekuatan punya harga, Kaelen. Dan kekuatanmu... mengambil bagian dari hatimu setiap kali kau menggunakannya.' Kata-kata itu membekas dalam benaknya hingga kini. Energi itu bergetar liar, seolah memohon untuk dilepaskan, menjanjikan kekuatan yang mampu menghancurkan musuh dalam sekejap. Namun, di balik janji itu, Kaelen juga merasakan ancaman—rasa takut kehilangan bagian lain dari hidupnya, bagian yang berarti. Ia membayangkan wajah ibunya yang semakin kabur dalam ingatan, suara ayahnya yang perlahan memudar. Jika ia menyerah pada kekuatan itu sekarang, siapa lagi yang akan ia lupakan? Lyra? Varrok? Pikiran itu mencengkeramnya, menahan langkahnya sejenak di antara hidup dan kehancuran. Ia tahu betul, hanya dengan itu ia bisa membalik keadaan. Namun, ia juga tahu risikonya. Satu lagi orang yang ia cintai akan hilang dari ingatannya.
This content is taken from freёnovelkiss.com.
"Terus lari! Jangan berhenti!" suara Varrok penuh ketegasan.
Mereka berlari menembus hutan yang semakin gelap. Ranting-ranting tajam menggores wajah dan lengan mereka. Kaelen mendengar suara desisan aneh di kejauhan, seperti bisikan makhluk-makhluk yang bersembunyi di antara pohon-pohon tua.
Tiba-tiba, Darek tersandung akar dan jatuh. Salah satu Pengintai Hitam melompat ke arahnya dengan belati terhunus. Kaelen berbalik tanpa berpikir panjang, mengayunkan pisaunya menangkis serangan itu. Dentingan logam menggema, namun Pengintai Hitam itu bergerak begitu cepat hingga Kaelen hampir kehilangan keseimbangan.
Varrok melompat, menebas dada musuh dengan pedangnya. Darah hitam menyembur, tetapi sosok itu masih mencoba bangkit. Darek menghantamkan kapaknya ke kepala lawannya, baru kemudian tubuh itu roboh tanpa suara.
"Bangun! Kita harus pergi!" Varrok menarik Darek berdiri.
Namun, suara langkah lebih banyak terdengar dari belakang. Mereka tahu, jumlah musuh terlalu banyak.
"Kita akan dikepung kalau terus seperti ini," bisik Serina.
"Kita pecah. Dua kelompok. Temui aku di tanah tinggi di utara lembah!" perintah Varrok.
Kaelen mengangguk. Ia bersama Lyra, Serina, dan Kael bergerak ke arah barat, sementara Varrok, Darek, dan Aria ke timur. Mereka berharap bisa mengacaukan pengejar.
Kaelen dan kelompok kecilnya merayap di bawah akar besar, menyeberangi sungai kecil dengan hati-hati. Di tengah perjalanan, Kaelen merasakan tangan Lyra gemetar saat ia membantunya menyeberang.
"Aku takut..." suara Lyra lirih.
Kaelen menatapnya sejenak, kemudian menggenggam tangannya erat. "Aku di sini. Aku akan melindungimu."
Serina yang berjalan di belakang mereka, menatap pemandangan itu dengan perasaan campur aduk. Antara rasa lega karena Lyra selamat dan nyeri yang menyelinap di hatinya.
Tiba-tiba, suara anak panah melesat lagi. Mereka merunduk. Kaelen melihat tiga Pengintai Hitam di atas tebing kecil, bersiap menyerang.
"Terus bergerak!" Kaelen berbisik keras.
Mereka merayap lebih cepat, berusaha keluar dari jangkauan musuh. Di saat bersamaan, Kaelen merasakan sesuatu yang lebih menyeramkan—bukan hanya Pengintai Hitam, tetapi ada sesuatu yang lain di lembah ini. Sesuatu yang lebih tua, lebih gelap—seperti kehadiran yang mengawasi dari balik pepohonan, diiringi bisikan lirih yang menyerupai desisan ular. Sekilas, Kaelen melihat bayangan tinggi dan kurus bergerak di antara kabut, namun begitu ia menoleh, sosok itu lenyap, meninggalkan hanya dingin yang menusuk hingga ke tulangnya.. Ia tidak tahu apa, tetapi ia bisa merasakan keberadaannya, mengintai di bayangan.
Saat mereka akhirnya tiba di lereng menuju tanah tinggi, Kaelen merasa sedikit lega. Namun, suara jeritan pendek terdengar dari arah timur—arah kelompok Varrok.
"Varrok!" Kaelen hampir berlari ke sana, tetapi Serina menahan lengannya. Detik itu, dada Kaelen terasa sesak. Varrok bukan hanya gurunya, tetapi sosok yang telah menjadi pengganti ayah. Bayangan kehilangan orang tua kembali menyeruak, menciptakan kekosongan yang menakutkan. Ia ingin menerjang, menyelamatkan satu-satunya orang yang selama ini menjaga dan membimbingnya. Namun, genggaman tangan Serina seolah menariknya kembali ke kenyataan yang pahit: tindakan gegabah hanya akan mempercepat kematian mereka semua.
"Tidak! Kita harus tetap pada rencana! Jika kau kembali, kita semua bisa mati!"
Kaelen terdiam, napasnya memburu. Ia tahu Serina benar. Tetapi rasa bersalah dan cemas menghantam dadanya.
Di ufuk timur, cahaya fajar mulai merayap perlahan. Namun, di hati Kaelen, hanya kegelapan dan ketakutan yang tersisa.