The Shattered Light-Chapter 146: – Mencari Sekutu yang Tersisa
Fajar baru menyingsing di langit kelabu saat Kaelen memimpin rombongan kecil keluar dari Verdan, meninggalkan tanah berdarah itu di belakang mereka.
Hanya lima belas orang yang ikut kali ini—yang paling tangguh, paling setia. Sisanya diperintahkan bertahan di desa untuk memperkuat pertahanan.
Kaelen tahu, kalau ekspedisi ini gagal, tak ada lagi tempat untuk mundur.
Serina berjalan di sampingnya, ransel busurnya bergoyang perlahan.
"Berapa banyak desa yang kita tuju?" tanyanya sambil memeriksa tali busur.
Kaelen mengangkat tangan dan menunjuk ke barat daya.
"Tiga. Greven, Orlan, dan Wellspring."
"Tiga?" Alden yang berjalan di belakang mendengus. "Kita sudah hampir kehabisan orang, dan kau mau mendatangi TIGA desa sekaligus?"
Kaelen tidak menoleh.
"Kita tidak punya kemewahan untuk memilih. Kita butuh sekutu... atau kita mati sendirian."
Hening sesaat.
Lalu, suara langkah kaki yang cepat menyusul mereka.
Lyra, yang sempat berbicara dengan pengintai tadi, muncul sambil menghela napas.
"Ada kabar buruk," katanya, menghapus debu dari pipinya. "Orlan mungkin sudah jatuh ke tangan loyalis Elvior."
Serina mengumpat pelan.
"Itu berarti Greven atau Wellspring."
"Atau keduanya," kata Alden, menatap kosong ke depan.
Kaelen meremas gagang pedangnya.
Semua keputusan terasa seperti pisau bermata dua.Dan ia tahu, satu kesalahan bisa mengorbankan lebih banyak nyawa.
"Kita tetap ke sana," ucap Kaelen akhirnya. "Kalau itu perangkap... lebih baik kita tahu sekarang daripada nanti."
Greven ternyata lebih besar daripada yang mereka duga. Dinding kayu melingkari desa, dengan menara-menara pengawas sederhana.Bendera putih dikibarkan—tanda netralitas.
Tapi Kaelen tidak begitu saja percaya.
Dia memberi isyarat, dan kelompoknya bergerak dalam formasi setengah lingkaran, menutupi semua sudut pandang.
Seorang pria paruh baya dengan jubah kusut keluar dari gerbang.
"Selamat datang... atau haruskah kukatakan, selamat datang, orang-orang buangan," katanya, dengan senyum licik.
Kaelen melangkah maju.
"Kami tak cari musuh. Kami cari teman."
Pria itu, yang memperkenalkan diri sebagai Maric, mengangkat bahu.
"Dan teman membawa beban. Apakah kalian membawa makanan? Senjata? Perlindungan?"
Kaelen menahan napas.
"Kami membawa harapan. Kesempatan membangun dunia yang bebas dari tirani."
Tawa kering Maric membelah udara.
"Harapan?" ejeknya. "Harapan tidak mengisi perut. Tidak menghentikan panah."
Lyra melangkah maju, matanya membakar.
"Kalau kalian tetap diam... Ordo Cahaya akan datang, cepat atau lambat. Dan saat itu terjadi, harapanlah satu-satunya yang bisa kalian pegang."
Beberapa orang di belakang Maric tampak ragu, berbisik satu sama lain.
Kaelen menyadari sesuatu: rakyat biasa lebih mudah digerakkan... tapi para pemimpinnya sudah tenggelam dalam rasa takut.
"Kalian punya waktu satu hari untuk memutuskan," kata Kaelen dingin. "Ikut kami... atau berdiri di jalan kami."
Ia membalikkan badan tanpa menunggu jawaban.
Di perkemahan sementara di luar Greven, Kaelen duduk membersihkan pedangnya.Serina mendekat, melemparkan sekantong buah beri ke tanah di sampingnya.
"Kau terlalu keras pada mereka," katanya.
Kaelen mengangkat bahu.
"Mereka harus tahu taruhannya."
"Mereka bukan prajurit, Kaelen. Mereka petani, tukang besi, tukang roti. Mereka butuh sesuatu yang lebih nyata daripada kata-kata perang."
Kaelen mendesah, menyandarkan kepalanya ke batu besar.
"Apa yang nyata, Serina? Dunia ini sudah membusuk sampai ke akarnya. Yang nyata adalah, jika kita tidak bertarung, kita lenyap."
Serina menatapnya, matanya melembut.
"Yang nyata adalah, mereka butuh alasan untuk mempercayaimu. Bukan hanya ketakutan."
Kaelen menatap jauh ke arah Greven, di mana lentera-lentera mulai menyala.
Ia mengerti.Tapi untuk menyentuh hati orang-orang itu, ia harus menemukan bagian dirinya yang perlahan dilupakan: rasa percaya.
Saat bulan mencapai puncaknya, suara langkah kaki cepat membangunkan Kaelen dari tidurnya.
Lyra berlari ke arahnya, wajahnya pucat.
"Mereka memilih," katanya terengah-engah. "Greven akan bergabung... dengan syarat."
Kaelen berdiri, hatinya berdebar.
"Apa syaratnya?"
Lyra menelan ludah, tampak enggan bicara.
"Mereka ingin... kau menyerahkan Serina sebagai jaminan. Bukti bahwa kau tidak akan mengkhianati mereka."
Suasana di perkemahan membeku.
Serina yang baru bangun menatap Kaelen, tak percaya.
"Apa?"
Kaelen mengepalkan tangan.
Pilihan di hadapannya membakar dada: menyerahkan sahabat terdekatnya... atau kehilangan satu-satunya sekutu baru yang bisa mereka dapatkan.
"Kau tahu jawabanku," gumam Serina, dingin.
Kaelen menatap mata Serina.Ada banyak hal yang tidak pernah mereka katakan satu sama lain. Tapi dalam tatapan itu, semua terasa jelas.
Ia tak akan mengkhianati satu-satunya keluarga yang tersisa.
"Kita cari sekutu di tempat lain," katanya akhirnya, suaranya tajam seperti bilah pedang.
Saat fajar berikutnya, rombongan Kaelen meninggalkan Greven.
Di belakang mereka, gerbang desa ditutup rapat, dan lentera-lentera padam satu per satu, seolah menghapus jejak mereka dari dunia.
Serina berjalan di samping Kaelen, bahunya tegak, walau luka tak terlihat menghantam hatinya.
"Terima kasih," bisik Serina lirih.
Kaelen menatap ke depan.
"Aku tidak butuh jaminan lain selain kalian."
Dan di tengah dunia yang penuh pengkhianatan, satu-satunya hal yang masih bisa mereka percayai... adalah satu sama lain.