The Shattered Light-Chapter 150: – Bayangan dari Masa Lalu

If audio player doesn't work, press Reset or reload the page.
Chapter 150: – Bayangan dari Masa Lalu

Denting pedang beradu di udara yang penuh kabut.Kaelen dan Varrek saling menyerang dan bertahan, gerakan mereka seperti bayangan yang menari dalam kilatan senjata.

Setiap tebasan terasa lebih berat daripada sebelumnya — bukan hanya karena lelah, tetapi karena luka yang lebih dalam dari sekadar fisik.

"Kenapa, Varrek?!" Kaelen menggeram di sela napasnya. "Kita berjuang bersama! Kita bersumpah untuk menghancurkan Ordo Cahaya, bukan menggantikannya dengan kegelapan baru!"

Varrek mundur satu langkah, mata tajamnya berkilat.

"Karena dunia ini tak bisa diselamatkan, Kaelen. Kau belum melihat... sejauh mana kebusukan telah merasuki segalanya."

Kaelen menangkis serangan lain, berputar, dan mendorong Varrek menjauh.

"Itu bukan alasan untuk menjadi monster lain!"

"Monster?" Varrek tertawa pahit. "Aku hanya membuka mata. Sementara kau tetap bermimpi tentang kebebasan yang tak pernah benar-benar ada."

Serina melesat dari samping, mencoba membantu Kaelen, tapi Varrek mengibaskan belatinya, memaksa Serina mundur dengan luka di lengannya.

Alden berteriak, mengayunkan kapaknya ke arah musuh lain, sementara Lyra melindungi punggung mereka dari serangan panah.

"Kaelen, kita harus pergi!" teriak Lyra. "Ini bukan pertempuran yang bisa kita menangkan!"

Kaelen tahu dia benar.Tetapi tatapan Varrek... luka lama... janji yang mereka buat bertahun-tahun lalu...Semuanya membuat Kaelen ragu.

"Tidak," Kaelen menggertakkan gigi. "Aku butuh jawaban."

Kaelen dan Varrek berhadapan lagi, jarak satu pedang.

"Kau mengkhianati kita," kata Kaelen, suaranya gemetar. "Kau membiarkan anak-anak desa terbunuh, Varrek. Kau memilih jalan ini."

Varrek menurunkan pedangnya sedikit, wajahnya keras, tapi suaranya serak.

"Aku memilih... realitas. Sementara kau, Kaelen, masih berjuang untuk bayangan masa lalu."

"Aku masih berjuang untuk orang-orang!" bentak Kaelen. "Untuk mereka yang tidak punya kekuatan untuk melawan!"

Varrek menatapnya lama, sebelum akhirnya berbisik.

"Mereka tidak pernah punya kesempatan, Kaelen. Kita hanya menunda kehancuran."

"Itu sebabnya kita bertarung!" jawab Kaelen, matanya berkilat marah. "Karena walau pun dunia ini sudah rusak, harapan tidak pernah sepenuhnya mati!"

Tiba-tiba, Varrek menurunkan pedangnya sepenuhnya.Dia mengulurkan tangan.

"Datanglah bersamaku, Kaelen. Kau tahu aku benar. Ashen Dawn akan membangun dunia baru dari abu ini. Dunia di mana tidak ada Ordo Cahaya... tidak ada Grandmaster... tidak ada lagi kebohongan."

Untuk sepersekian detik, tawaran itu terasa... masuk akal.

Kaelen mengingat rasa kehilangan, pengkhianatan, kekecewaan...Dunia telah berkali-kali mengkhianatinya.

Mungkin... mungkin membiarkan dunia lama terbakar memang satu-satunya cara.

"Kaelen," suara Serina memanggil lirih, berdarah, matanya penuh luka dan harapan. "Jangan."

"Kita semua di sini karena kita percaya padamu," kata Alden, menggenggam gagang kapaknya erat. "Jangan biarkan dia mengambilmu juga."

Lyra berdiri diam, hanya menatap Kaelen.Tidak ada kata-kata... hanya kepercayaan di matanya.

Dan dalam tatapan itu, Kaelen menemukan jawabannya.

Kaelen menatap tangan Varrek lama sekali.

Kemudian, dengan gerakan cepat, dia menepis tangan itu dan mengarahkan pedangnya ke dada Varrek.

"Aku memilih untuk percaya," kata Kaelen pelan. "Bahkan ketika dunia ini tidak layak untuk itu."

Varrek tersentak, luka emosional jauh lebih dalam daripada ancaman pedang Kaelen.

"Maka kita musuh," bisik Varrek.

"Sejak kau meninggalkan kami," jawab Kaelen.

Varrek menggeram marah, melompat menyerang.

Pertarungan mereka berubah menjadi lebih brutal, lebih pribadi.

Kaelen tidak bertarung untuk menang.Dia bertarung untuk bertahan, untuk menjaga api kecil yang masih menyala di hatinya.

Akhirnya, dalam satu gerakan terlatih, Kaelen melucuti senjata Varrek dan menjatuhkannya ke tanah.

Pedang Kaelen berhenti hanya satu inci dari leher Varrek.

"Lakukan," desis Varrek, menantang.

Kaelen menggeleng perlahan.

"Aku tidak akan menjadi seperti kalian."

Dia melemparkan pedangnya ke tanah, membalikkan badan, dan berjalan pergi.

Serina, Alden, dan Lyra bergerak cepat ke sisinya.

"Kau yakin?" tanya Alden, napasnya berat.

"Jika aku membunuhnya," kata Kaelen tanpa menoleh, "aku membunuh bagian dari diriku sendiri." 𝚏𝕣𝕖𝚎𝚠𝚎𝚋𝚗𝐨𝐯𝕖𝕝.𝕔𝐨𝕞

Mereka meninggalkan Varrek di tanah, kabut menelan tubuhnya.

Saat mereka berjalan menjauh dari lembah berdarah itu, Kaelen tahu perjuangan mereka baru saja dimulai.

Ashen Dawn tidak akan berhenti.

Tapi sekarang, mereka punya alasan lebih dari sekadar balas dendam.

Mereka punya harapan.

Dan harapan — sekecil apa pun — lebih kuat daripada kebencian.