The Shattered Light-Chapter 151: – Riuh Kenangan yang Pudar
Langit sore membara di kejauhan, warna jingganya menggores cakrawala seperti luka yang belum sembuh.
Kaelen berjalan di antara reruntuhan.Setiap langkah terasa berat, bukan hanya oleh luka fisik, tetapi oleh sesuatu yang lebih dalam, lebih sunyi:Rasa kehilangan yang ia bahkan tak bisa namai lagi.
Serina berjalan di sebelahnya, luka di lengannya sudah dibalut seadanya. Alden di belakang mereka, terhuyung tapi tetap bertahan.
Lyra—Lyra tetap diam. Menatap Kaelen dengan tatapan kosong yang menusuk lebih tajam dari bilah mana pun.
Tak ada yang berbicara untuk waktu yang lama.
Sampai akhirnya suara Serina yang serak memecah keheningan.
"Berapa banyak lagi yang harus kita korbankan... sebelum dunia ini berubah?"
Kaelen berhenti.
Mengangkat kepalanya perlahan, seolah baru sadar betapa sunyinya dunia tanpa suara mereka yang telah hilang.
Orang-orang yang dulu memenuhi ingatannya, kini hanya bayang samar.
"Aku bahkan..." Kaelen menelan ludah, suaranya pecah, "... aku bahkan hampir tak ingat suara ibuku."
Semua berhenti.Bahkan angin yang menyapu reruntuhan terasa menahan napas.
Lyra akhirnya mendekat, berdiri di hadapan Kaelen.
"Kaelen," katanya, lirih, "kau masih punya kami."
Dia ingin percaya. Dia sungguh ingin.Tapi bayangan tentang semua yang telah hilang mengaburkan pandangannya.
Tiba-tiba, serpihan memori berkelebat di pikirannya:Tawa kecil seorang wanita.Aroma roti hangat di udara.Tangan hangat yang mengusap rambutnya.
Tetapi ketika Kaelen mencoba menggenggam kenangan itu, mereka pecah seperti kaca.
Dia menggenggam kepalanya, meringis.
"Kaelen!" Lyra memanggil, panik.
Serina berjongkok di sampingnya, menahan bahunya.
"Tarik napas," bisik Serina. "Jangan biarkan rasa sakit itu mengambilmu."
Kaelen menutup matanya.
Bernapas dalam-dalam.
Mencoba mengingat apa pun. Sebuah suara. Sebuah senyuman. Sebuah nama.
"Aku... aku takut," bisik Kaelen akhirnya, suara yang jarang ia perlihatkan. "Takut suatu hari nanti... aku akan lupa mengapa aku bertarung."
"Kau tidak akan lupa," kata Alden dari belakang, nadanya tegas meski napasnya berat. "Kami di sini untuk mengingatkanmu."
"Tapi bagaimana kalau aku lupa kalian juga?" suara Kaelen retak.
Serina menatapnya dengan penuh luka.
"Maka kami akan mengingatmu," jawabnya, tanpa ragu. "Sampai nafas terakhir kami."
Di tengah percakapan mereka, langkah kaki berat terdengar dari reruntuhan.
Pasukan kecil muncul: penduduk yang berhasil bertahan hidup, wajah mereka penuh harap, takut, dan kebingungan.
Seorang gadis kecil berlari ke arah Kaelen, rambutnya kusut, matanya lebar.
"Tuan Kaelen!" serunya, suaranya pecah oleh emosi. "Ayahku bilang kau pahlawan! Kau pasti bisa selamatkan kami!"
Kaelen terdiam.
Memandang gadis itu.Melihat kilasan wajah ibunya dalam kilatan ekspresi polos itu.Sesuatu di dalam dadanya berdenyut.
Dia berlutut perlahan, sejajar dengan si gadis.
"Apa namamu?" tanya Kaelen, lembut.
"Elina," jawab gadis itu.
Kaelen tersenyum kecil—senyum yang retak tapi nyata.
"Aku janji, Elina. Aku akan membuat dunia ini lebih baik untukmu."
Malam itu, di bawah langit berbintang yang kelam, Lyra menemui Kaelen yang duduk sendirian di samping api kecil.
"Kau menyalahkan dirimu sendiri, bukan?" tanya Lyra, duduk di sampingnya.
Kaelen tidak menjawab.
Lyra menatap apinya, suaranya lembut tapi tegas.
"Kita semua kehilangan sesuatu, Kaelen. Tapi kau... kau kehilangan lebih banyak dari kita semua. Kau kehilangan potongan dirimu sendiri."
Kaelen menghela napas berat.
"Aku takut pada apa yang tersisa... saat semua potongan itu habis."
"Mungkin..." kata Lyra, memandangnya dengan penuh emosi, "... mungkin yang tersisa adalah bagian terbaik darimu."
Kaelen berbalik, menatapnya.Untuk pertama kalinya dalam waktu yang terasa seperti seumur hidup, dia membiarkan air mata jatuh.
Tanpa kata, Lyra meraih tangannya.
Dan di sana, di bawah langit yang sepi, mereka duduk bersama dalam keheningan yang penuh makna.
Esok hari mereka akan berjalan ke dalam perang besar.Esok hari darah akan kembali tumpah.
Tapi malam ini, untuk sesaat singkat, mereka mengingat siapa yang mereka perjuangkan.
Bukan hanya dendam.
Bukan hanya balas.
Tetapi untuk harapan kecil yang masih bertahan — untuk Elina, untuk masa depan, untuk dunia yang tidak perlu diingat dengan rasa sakit.
Kaelen menatap bintang-bintang yang berkelap-kelip redup di langit.
Dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, dia berbisik dalam hatinya:
"Aku akan terus berjalan."