The Shattered Light-Chapter 176: – Wajah yang Terlupakan
Langkah kaki Serina menggema di lorong batu yang remang, tapi tidak satu pun dari mereka mengenal suara langkah itu. Ia datang pelan-pelan seperti bayangan, tapi membawa badai di belakang matanya yang kosong.
Dari sudut ruangan, Kaelen berdiri membeku.
“Tidak...” bisiknya, seperti menolak kenyataan yang ada di hadapannya.
Lyra langsung berdiri, tangan menyentuh gagang pedangnya. “Kaelen... itu dia, bukan?”
Kaelen tidak menjawab. Ia hanya melangkah maju perlahan, tak berkedip. Wajah di depannya terlalu akrab, terlalu menyakitkan untuk dianggap mimpi. Tapi juga terlalu asing untuk disebut nyata.
Serina berhenti beberapa meter dari mereka. Jubah putih panjang menjuntai di tanah, matanya menatap lurus ke depan tanpa emosi. Seakan melihat mereka, tapi tidak melihat mereka.
“Apa... kau mengenalku?” Kaelen bertanya dengan suara nyaris bergetar.
Serina tidak menjawab. Sebaliknya, ia mengangkat tangan kanannya, dan dalam sekejap, anak panah dari energi cahaya terbentuk.
“Kaelen!” Lyra langsung bergerak ke depan, bersiap menangkis.
Namun Kaelen mengangkat tangannya. “Jangan.”
Panah itu melesat. Tapi berhenti di tengah udara, bergetar—dan hancur menjadi debu cahaya.
Kaelen berdiri tenang, menatap lurus ke mata Serina. “Kau tidak ingin melakukannya. Aku tahu.”
Serina berkedip sekali. Tangannya yang sudah terangkat perlahan turun. Tapi wajahnya tetap datar.
Dari belakang, suara langkah kaki lain terdengar. Eryon muncul dari balik bayangan, masih mengenakan jubah lapis perak yang membuatnya tampak lebih tua dari usianya. Tapi yang paling mencolok—senyum tipis di wajahnya.
“Kau terlalu sentimental, Kaelen,” katanya, tenang. “Itulah sebabnya mereka selalu bisa merusakmu. Tapi aku belajar... jika kau menghapus masa lalu seseorang, kau bisa membuat ulang siapa pun yang kau inginkan.”
Kaelen menggertakkan gigi. “Apa yang kau lakukan padanya?”
Eryon mengangkat bahu. “Serina adalah proyek yang gagal. Tapi sekaligus berhasil. Ia punya kekuatanmu, tapi tidak punya beban. Tidak ada ingatan, tidak ada keraguan.”
“Dia bukan alat,” kata Kaelen tajam. “Dia bukan proyek. Dia teman kami.”
“Teman?” Eryon mendekat. “Teman yang kau lupakan. Teman yang kau tinggalkan. Teman yang akhirnya kami selamatkan dari rasa sakit—dengan cara kami.”
Serina menatap Eryon. Sekilas, kerutan muncul di dahinya.
Kaelen menangkapnya. “Lihat! Dia masih di sana. Dia tidak sepenuhnya hilang!” 𝚏𝗿𝗲𝐞𝐰𝚎𝕓𝐧𝚘𝘃𝗲𝐥.𝐜𝚘𝕞
Eryon menghela napas. “Masalahnya denganmu, Kaelen... kau terlalu percaya pada hati. Dan terlalu takut kehilangan. Tapi itu yang membuatmu lemah.”
Kaelen melangkah maju. “Kau tahu apa yang membuatku kuat, Eryon?”
“Apa?”
“Rasa sakit. Bukan menghindarinya. Tapi menerimanya. Mengakuinya.”
Ia menatap Serina. “Kalau aku bisa merasa kehilangan, itu karena aku pernah mencintainya sebagai teman. Sebagai saudara. Dan itu jauh lebih kuat dari apapun yang kau tanamkan di dalam dirinya.”
Serina menggigit bibir bawahnya pelan. Tangannya bergetar. Ia menunduk, dan sejenak, sebutir air mata jatuh.
Eryon terdiam.
Kaelen mendekat satu langkah. “Serina... kalau kau tak ingat siapa aku, tak apa. Tapi kalau ada bagian kecil dalam dirimu yang masih merasakan... kau boleh ikut kami. Tidak sebagai alat. Tapi sebagai manusia.”
Tiba-tiba, Serina menjerit.
Tangan kirinya menyentuh kepala, seperti sesuatu di dalam dirinya sedang berperang. Suaranya pecah, dan tubuhnya berlutut. Cahaya di sekelilingnya berkedip—kadang biru, kadang merah.
Lyra ingin maju, tapi Kaelen mengangkat tangan menghentikannya.
“Aku di sini,” kata Kaelen lembut. “Aku tidak akan pergi.”
Dari dalam jeritan itu, terdengar suara serak lirih:
“...Kaelen...?”
Jantungnya nyaris berhenti.
“Serina...”
Namun momen itu tak bertahan lama. Eryon melangkah cepat ke depan, mengacungkan tangan.
“Cukup!”
Sinar merah menyambar ke arah Serina. Kaelen refleks menariknya dan melempar tubuhnya ke samping, membentur dinding batu.
Kaelen berdiri menghadang, tubuhnya terluka tapi tegak. “Kau sudah cukup merusak. Kau tak akan menyentuhnya lagi.”
Eryon menatap Kaelen dengan sorot tajam. “Kalau begitu, kaulah yang harus kulenyapkan.”
Kaelen dan Eryon kembali berhadapan, namun kali ini medan bukan hanya kekuatan—tapi ingatan. Setiap serangan Eryon berusaha menghapus potongan memori Kaelen. Tapi Kaelen sudah berubah.
Ia belajar menanam ulang rasa kehilangan sebagai kekuatan.
“Kalau kau cabut ingatan tentang Lyra—aku akan jatuh cinta lagi padanya,” ucapnya sambil menahan gelombang serangan.
“Kalau kau hapus Serina, aku akan temukan dia lagi.”
“Kalau kau ambil semua yang membuatku ‘Kaelen’—maka aku akan memilih jadi siapa pun yang melawanmu.”
Dengan teriakan terakhir, ia menebas serangan Eryon, menghantamnya balik.
Ledakan cahaya menyebar ke seluruh ruangan.
Saat debu mereda, Eryon terduduk, tubuhnya gemetar. Di belakang Kaelen, Serina sudah berdiri—masih goyah, tapi dengan mata yang kini basah dan sadar.
“Kaelen...” bisiknya.
Kaelen menoleh. “Kau kembali.”
Serina mengangguk kecil. Lalu tersenyum, samar. “Aku tak ingat segalanya. Tapi aku ingat cukup... untuk tahu siapa yang pantas kupercaya.”
Serina kembali, tapi tidak utuh. Sementara Eryon tertangkap... dan berkata: “Kau pikir ini akhir? Kalian belum lihat kebenaran tentang siapa yang menanam kenangan di kepalamu sejak awal...”
Kaelen membeku. Sebuah nama muncul dalam benaknya. Bukan Eryon. Tapi seseorang lain.