The Shattered Light-Chapter 177: – Penjaga Bayangan

If audio player doesn't work, press Reset or reload the page.
Chapter 177: – Penjaga Bayangan

Udara di dalam ruang bawah tanah itu berat, dipenuhi aroma debu, batu basah, dan sisa-sisa sihir yang baru saja meledak. Kaelen berdiri di atas lututnya, napasnya terengah, tubuhnya penuh luka. Serina bersandar di dinding, masih goyah, tapi kesadarannya telah kembali sepenuhnya.

Eryon tergeletak tak jauh dari mereka, tangannya terikat oleh energi cahaya yang berasal dari Relik Cahaya yang berhasil Kaelen aktifkan ulang.

Namun justru dalam kondisi tertangkap itulah Eryon tampak paling tenang.

Kaelen menatapnya tajam. “Kau kalah. Ini sudah selesai.”

Eryon mendongak, senyum miring mengembang di wajahnya. “Oh, Kaelen... kamu masih belum paham. Pertarungan kita hanya cabang kecil dari pohon yang lebih besar.”

Lyra masuk ke dalam ruangan, membawa gulungan kuno dan buku lusuh yang mereka temukan saat menjelajah ruangan di atas. Wajahnya pucat. “Kaelen... ada sesuatu yang harus kau lihat.”

Kaelen bangkit dengan susah payah dan berjalan ke arah Lyra. Ia mengambil buku itu, membuka halaman yang ditunjukkan Lyra. Sebuah lukisan tangan tua tergambar di sana—seorang pria berjubah hitam dan perak, dengan wajah yang sangat familiar.

Kaelen menyipitkan mata.

“Ini... bukan mungkin...”

“Namanya ditulis di sini,” kata Lyra lirih. “Master Archivist. Penjaga Kenangan Besar. Nama aslinya... Varrok.”

Kaelen tersentak mundur. “Itu tidak masuk akal. Varrok adalah guruku. Dia mengajariku segalanya... tentang kehormatan, kekuatan, kesabaran...”

Eryon tertawa pelan. “Dan juga tentang bagaimana membentuk pikiranmu.”

Kaelen menoleh tajam. “Jangan berani kau menghina dia.”

“Aku tidak menghina,” jawab Eryon. “Aku memberimu kebenaran yang kau tolak sejak awal. Kau pernah bertanya kenapa ingatanmu hilang satu per satu? Kenapa kau bisa menggunakan kekuatan gelap tanpa belajar dari kami? Karena Varrok... menyimpannya untukmu. Dia membuat mekanisme di dalam dirimu. Setiap kali kau memakai kekuatan tertentu, satu ingatanmu ditukar dengan satu potongan kekuatan dari masa lalu.”

Kaelen menggeleng cepat. “Tidak. Varrok bilang itu efek samping...”

“Efek samping yang dia rancang,” potong Eryon cepat. “Kau pikir kenapa setiap kali kau mendekati kebenaran, sesuatu dalam dirimu kabur? Kenapa kau tak pernah benar-benar mengingat wajah ibumu setelah Babak Pembantaian? Atau suara ayahmu yang hanya kau tahu dalam mimpi?”

Serina menunduk. “Kaelen... aku pernah lihat Varrok bicara sendirian. Dulu aku kira dia sedang berdoa. Tapi suaranya... seperti sedang mengatur sesuatu. Seperti bicara dengan... bagian lain dari dirinya.”

Lyra mencengkeram lengan Kaelen. “Kita harus cari tahu. Di ruangan ini. Di catatan ini.”

Kaelen membuka halaman berikutnya.

Sebuah diagram rumit terlukis. Ada simbol di tengah—sama seperti yang dulu Varrok ukir di lengan Kaelen ketika ia berusia empat belas. Simbol itu... pemicu.

“Setiap kekuatan, setiap akses ke lapisan terdalammu... tidak muncul alami,” kata Lyra. “Itu seperti... diprogram.”

Kaelen perlahan duduk, tubuhnya goyah, tapi lebih karena beban psikologis daripada luka fisik. “Dia memprogramku.”

Eryon mengangguk.

“Tapi kenapa?” Kaelen bertanya. Suaranya hampir tidak terdengar.

“Karena dia inginmu menjadi penerusnya. Penerus sejati dari Penjaga Kenangan,” jawab Eryon. “Dan itu butuh pengorbanan yang dia sendiri tak sanggup lakukan. Jadi... dia membentukmu.”

Kaelen menggeleng pelan, seperti menolak dunia yang sedang runtuh di hadapannya.

“Tidak semua ajarannya salah,” bisiknya.

“Tidak,” jawab Eryon pelan. “Tapi niatnya tak pernah murni. Dia mencintaimu. Itu aku tahu. Tapi dia juga takut akan apa yang bisa terjadi kalau kebenaran terungkap.”

Kaelen menatap tangan kirinya—bekas ukiran lama yang dulu ia kira hanya tanda perlindungan. Tapi kini, ia sadar: itu tombol.

“Aku harus tahu lebih banyak,” gumamnya. “Aku harus menemukan tempat asal Varrok. Di mana dia menulis semua ini.”

Lyra menunjuk peta kecil yang terlipat di belakang buku. “Ada satu tempat yang belum kita jamah. Namanya Menara Bayangan. Tertulis di sini sebagai ‘Perpustakaan Terakhir’. Mungkin semua jawaban ada di sana.”

Serina berdiri. “Kalau begitu, kita berangkat besok pagi.”

Kaelen menatap mereka semua. “Tidak. Aku harus pergi sendiri.”

“Tidak!” kata Lyra cepat. “Kau bahkan tidak tahu apa yang akan kau temui di sana.”

“Justru karena itu,” jawab Kaelen tenang. “Kalau aku tidak kembali... setidaknya kalian masih bisa melawan. Tapi kalau aku membawa kalian dan semua ini jebakan... kita semua bisa musnah.”

Serina menatap Kaelen, matanya mulai berkaca-kaca. “Aku baru kembali. Aku belum sempat... menebus semuanya.”

Kaelen menatapnya lembut. “Kau sudah lebih dari cukup, Serina.” 𝘧𝓇ℯ𝑒𝓌𝑒𝑏𝓃𝘰𝘷𝘦𝘭.𝒸ℴ𝓂

“Dan kau?” tanya Lyra, suaranya nyaris putus. “Apa kau tahu siapa dirimu sekarang?”

Kaelen menunduk sejenak. Lalu menatap mereka.

“Belum,” jawabnya. “Tapi aku akan menemukannya.”

Kaelen meninggalkan kamp dan menuju Menara Bayangan. Tapi seseorang telah lebih dulu tiba di sana: sesosok misterius berjubah ungu... yang memegang kenangan masa kecil Kaelen—yang tak pernah ia tahu pernah ada.