The Shattered Light-Chapter 178: – Menara Bayangan

If audio player doesn't work, press Reset or reload the page.
Chapter 178: – Menara Bayangan

Kabut menggantung rendah di antara pepohonan kering. Angin dingin menyusup lewat celah-celah baju pelindung Kaelen, tapi ia tak menggigil. Tubuhnya sudah kebal terhadap rasa nyeri dan dingin, namun pikirannya... tidak.

Ia berjalan seorang diri melewati jalur yang tak pernah diinjak siapa pun selama puluhan tahun. Di kejauhan, siluet gelap Menara Bayangan muncul—menjulang, bengkok seperti jari yang menunjuk ke langit.

Langkahnya berhenti di depan reruntuhan batu penanda. Di sana, simbol yang sama dengan yang tertoreh di lengan kirinya terpahat pada batu.

“Varrok memang ke sini...” bisiknya lirih.

Tiba-tiba, bisikan angin berubah jadi gema lembut.

“Masih mengikutiku setelah semua ini?”

Kaelen mencabut pedangnya.

Dari balik kabut, sosok berjubah ungu muncul. Wajahnya tertutup, tapi auranya tak asing.

“Siapa kau?” tanya Kaelen dingin.

Sosok itu tidak langsung menjawab. Ia melangkah pelan, lalu mengangkat tangannya. Di dalam genggamannya... seuntai liontin kayu kecil. Bentuknya sangat sederhana, tapi Kaelen merasa dadanya mencengkeram.

“Aku... mengenal itu.”

Sosok itu mengangguk pelan. “Dulu kau memakainya setiap hari. Sebelum Varrok mengambilnya dan menghapusnya dari ingatanmu.”

Kaelen maju selangkah, suaranya genting. “Siapa kau sebenarnya?”

Sosok itu membuka tudung kepalanya. Seorang perempuan, usia senja, rambut perak, mata kehitaman... dan senyum yang terlalu tenang.

“Aku Riva. Aku adalah... penjaga satu-satunya kenangan yang masih bisa diselamatkan.”

Kaelen nyaris jatuh ke lutut. “Kenangan siapa?”

“Kenanganmu,” jawab Riva lembut. “Dari masa sebelum pembantaian. Saat kau masih bernama Kaelion Vareth, bukan hanya Kaelen.”

Nama itu menamparnya lebih keras daripada sihir mana pun.

“Aku... itu namaku dulu?”

Riva mengangguk. “Varrok tidak hanya melatihmu. Dia memotongmu. Mencabut akar-asalmu dan menanam ulang dengan bentuk baru. Agar kau tumbuh sesuai keinginannya.”

Kaelen terduduk di tanah. Dunia seperti berputar. “Kenapa semua orang terus mengatur hidupku? Mengubahku? Apa aku tidak punya kehendak sendiri?”

Riva mendekat, duduk di hadapannya. “Itulah kenapa kau harus datang ke sini. Menara Bayangan bukan tempat menyembunyikan rahasia. Ia tempat mencerminkan jiwa. Dan hanya jiwa yang bersih... yang bisa membuka kebenaran penuh.”

Kaelen mendongak. “Kau tahu apa yang kulakukan. Aku telah menghancurkan banyak hal. Aku bahkan tak ingat wajah Serina dengan jelas lagi.”

“Dan itulah harga kekuatanmu,” bisik Riva. “Setiap potongan sihir dalam darahmu adalah pengganti sesuatu yang manusiawi. Tapi itu bisa dihentikan.”

“Bagaimana?”

Riva berdiri dan berjalan ke arah gerbang menara yang tertutup rapat. Di tengah pintu, sebuah ukiran tangan.

“Letakkan tangan kirimu di sini. Tapi ketahuilah, Kaelen, begitu kau membuka pintu ini... kau tak akan sama lagi. Kenanganmu bisa kembali—baik atau buruk. Tapi semua itu akan datang sekaligus. Tubuhmu mungkin akan menolaknya. Jiwamu bisa hancur.”

Kaelen menatap ukiran itu.

“Jika aku tidak membukanya, aku akan tetap menjadi... makhluk setengah jadi.”

Riva mengangguk. “Dan mudah dikendalikan siapa pun yang tahu celahnya.”

Kaelen berdiri. Jemarinya menyentuh ukiran itu.

Ledakan cahaya keemasan meledak seketika, menyebar ke langit, ke tanah, ke seluruh tubuhnya. Rasa nyeri menjalar cepat, bukan di kulit, tapi jauh di dalam... di lapisan ingatan yang telah lama terkubur.

Teriakan keluar dari mulutnya, tak tertahan. Tapi dia tidak berhenti. Ia mendorong lebih keras—menyerahkan dirinya.

Sampai semuanya berhenti.

Pintu terbuka perlahan, dan ruangan di baliknya... dipenuhi cermin.

Kaelen menatap dirinya sendiri di lusinan pantulan. Tapi... setiap bayangan menunjukkan hal yang berbeda. Wajah anak kecil. Wajah remaja. Wajah murka. Wajah takut. Wajah yang penuh darah.

Suara Lyra menggema di pikirannya: “Kau tidak tahu siapa dirimu.”

Dan sekarang, untuk pertama kalinya, Kaelen merasa tahu.

Ia melangkah ke dalam.

Setiap langkahnya membuat satu kenangan meletup. Suara ibunya bernyanyi. Ayahnya mengangkatnya tinggi di udara. Tawa Serina. Tangis Lyra. Suara Varrok—dan manipulasi di baliknya. Kilatan api. Mayat. Sumpah dendam.

Air mata mengalir di pipinya. Tapi Kaelen tidak mundur.

Riva berdiri di belakangnya, matanya redup.

“Kau sudah di ambang,” katanya pelan. “Kini, pilihan terakhir tinggal satu.”

Kaelen menoleh.

“Apa kau akan tetap memakai kekuatan itu? Dengan harga yang kau tahu kini?”

Kaelen menatap tangannya. Energi masih membara di dalam dirinya. Tapi kali ini, ia tidak terintimidasi. Ia tahu sumbernya. Ia tahu efeknya.

Dan ia tahu... ia bisa memilih.

Ia menggenggam erat liontin kayu dari Riva.

“Jika aku akan menyelamatkan dunia ini... maka aku ingin melakukannya sebagai diriku sendiri. Tanpa dikendalikan siapa pun.”

Di luar Menara Bayangan, pasukan Ordo Cahaya mendekat. Tapi di antara mereka... ada satu wajah lama yang seharusnya sudah mati. Seorang pengkhianat yang kembali dari neraka untuk menuntut haknya atas takhta.