The Shattered Light-Chapter 183: – Jejak di Tanah Hitam

If audio player doesn't work, press Reset or reload the page.
Chapter 183: – Jejak di Tanah Hitam

Angin Volcair berembus seperti bisikan masa lalu. Bukan angin biasa—ia membawa bau besi tua dan sesuatu yang lebih dalam: kenangan yang seharusnya sudah mati.

Kaelen memandangi barisan tebing yang menjulang hitam di hadapannya. Di punggungnya tergantung pedang tua milik Varrok, kini menjadi beban lebih emosional daripada senjata. Di sampingnya, Lyra dan Alden menyusul, kaki mereka menyisakan jejak samar di tanah berpasir kelabu.

"Tanah ini tak menerima siapa pun," gumam Alden sambil menatap sekeliling. "Setiap kali kita melangkah, tanah seperti... memakan jejak kita."

"Karena Volcair bukan tempat untuk yang hidup," jawab Lyra lirih.

Kaelen mengangguk pelan. “Tapi kita tak datang ke sini untuk hidup. Kita datang agar yang lain bisa.”

Mereka menemukan reruntuhan kecil sebelum matahari benar-benar tenggelam. Dinding batu melengkung membentuk setengah lingkaran. Di tengahnya, pilar runtuh dan pecahan mosaik yang menggambarkan makhluk bersayap hitam.

Kaelen berlutut di depan salah satu ukiran.

“Ini bukan simbol Ordo Cahaya,” katanya. “Ini lebih tua. Mungkin... sebelum Ordo terbentuk.”

Lyra berjongkok di sebelahnya, jari-jarinya menyentuh mosaik yang terkelupas. “Ayah pernah bilang ada faksi dalam Ordo yang memuja ’Asal Bayangan’. Teori bahwa bayangan bukan kebalikan cahaya... tapi cikal bakalnya.”

Alden tertawa sinis. “Dan sekarang kita berburu bayangan yang mungkin bukan bayangan sama sekali.”

Tiba-tiba, suara retakan terdengar dari belakang.

Semua spontan berdiri, senjata terhunus.

Dari balik pilar, muncul seorang wanita tua berjubah abu-abu, rambutnya kusut, tapi matanya jernih.

“Sudah lama,” ucapnya pelan, “tak ada yang berani ke sini dan tetap bernapas setelah malam pertama.”

Kaelen menurunkan pedangnya sedikit. “Siapa kau?”

“Namaku Iresa. Penjaga... yang dilupakan.”

Lyra maju. “Apa kau tahu apa yang dibangkitkan mereka dari altar Volcair?”

Iresa menatapnya lama, lalu mengangguk. “Mereka tak membangkitkan apa pun, Nak. Mereka melepaskan sesuatu... yang seharusnya tidak pernah dikurung.”

Ia menunjuk Kaelen. “Dan sebagian dari itu... ada dalam dirimu.”

Malam itu, Iresa duduk bersama mereka di dekat api kecil. Ia mulai bercerita, seperti seorang nenek tua yang mengulang kisah lama yang hanya didengar oleh tembok dan bayangan.

“Waktu Ordo Cahaya pertama kali meneliti Relik,” katanya, “mereka sadar bahwa energi yang mereka serap... punya kesadaran sendiri. Mereka menyebutnya Residu. Aku menyebutnya... Patah Jiwa.”

Kaelen diam, menatap api.

“Relik yang dulu kau pakai untuk membalikkan pasukan di Elvarin—kau kira itu kekuatanmu?” Iresa menatap tajam. “Sebagian mungkin, tapi kekuatan itu tumbuh dari kehilangan, dari potongan jiwa orang-orang yang telah mati dan tak bisa istirahat.”

Alden bergumam, “Itu sebabnya tiap kali Kaelen pakai kekuatan itu, dia kehilangan ingatan. Bukan karena kelemahan... tapi karena ada bagian dirinya yang tertinggal bersama kekuatan itu.”

Iresa mengangguk pelan. “Relik bukan alat. Ia seperti cermin terbalik. Semakin kau memakainya, semakin kau melihat sisi yang bahkan kau sendiri tak tahu pernah ada.”

Kaelen mencengkeram tanah. “Lalu... bagaimana aku bisa menghentikannya?”

Iresa menatapnya lama. “Mungkin kau tak bisa. Tapi mungkin... kau bisa memilih sisi mana yang akan menang.”

Malam itu, Kaelen tak tidur. Ia duduk di tepi jurang, memandangi langit yang tak berbintang.

Lyra mendekat pelan, duduk di sampingnya tanpa bicara.

Beberapa menit sunyi berlalu sebelum Kaelen berkata, “Jika aku mati... bukan sebagai diriku... tolong jangan biarkan aku bangkit sebagai sesuatu yang lain.” 𝚏𝗿𝗲𝐞𝐰𝚎𝕓𝐧𝚘𝘃𝗲𝐥.𝐜𝚘𝕞

Lyra menggenggam tangannya. “Kalau itu terjadi... aku akan mati bersamamu, Kaelen. Tapi bukan karena menyerah. Karena aku tidak akan biarkan kau sendiri.”

Kaelen menatapnya. “Kau sadar kita mungkin sudah terlalu jauh masuk ke dalam ini?”

Lyra tersenyum tipis. “Sudah sejak kau membawaku dari reruntuhan kamp para pemberontak dulu. Tapi aku tak pernah menyesal.”

Kaelen mencium keningnya perlahan. “Terima kasih. Untuk tetap tinggal... bahkan ketika aku mulai lupa siapa aku.”

Lyra menggenggam tangannya lebih erat. “Karena aku ingat.”

Dan di kejauhan, dalam kegelapan, bayangan mulai bergerak. Bukan makhluk. Bukan roh. Tapi ingatan yang berubah bentuk—bersiap untuk menyerang dengan wajah yang pernah dicintai.