The Shattered Light-Chapter 184: – Penyamaran Jiwa

If audio player doesn't work, press Reset or reload the page.
Chapter 184: – Penyamaran Jiwa

Kabut pagi di Volcair tak seperti kabut biasa—ia berwarna kebiruan dan berdesis halus, seolah menyimpan bisikan dari dunia yang telah lama tenggelam. Kaelen membuka matanya dengan napas tertahan, tubuhnya masih tegang dari mimpi yang terlalu nyata.

Ia baru saja melihat Serina. Tersenyum. Menyentuh pipinya. Dan mengucapkan kalimat yang membuat darahnya membeku:

“Kau sudah lupa aku. Tapi aku belum selesai denganmu.”

“Bangun cepat,” kata Alden dari kejauhan. “Kabutnya... bergerak.”

Kaelen berdiri, memegang pedangnya erat. Lyra sudah menyiapkan busur. Wajahnya cemas, tapi matanya tetap fokus.

Iresa berdiri di sisi jurang, jubahnya melambai. “Volcair mulai mengenal kalian. Ia sedang mencari celah.”

“Celah apa?” tanya Kaelen, mendekat.

“Yang paling rapuh dalam dirimu,” jawab Iresa tanpa menoleh. “Apa yang telah kau kubur... akan digali paksa. Dan dipakai melawanmu.”

Beberapa jam kemudian, saat mereka mulai berjalan melewati lembah batu yang retak-retak seperti kulit makhluk tua, Kaelen mendengar suara yang membuat tubuhnya berhenti.

“Kaelen...”

Ia berbalik. Tak ada siapa pun.

“Kaelen, tolong...”

Itu suara Serina. Jelas. Lembut. Menyusup seperti udara dingin di tulang.

“Tidak mungkin,” gumamnya.

“Kaelen? Ada apa?” Lyra menghampirinya.

“Aku dengar suara dia,” katanya. “Serina.”

Wajah Lyra mengeras. “Kau pasti salah dengar.”

Tapi suara itu terdengar lagi. Lebih dekat. Kali ini... seperti datang dari dalam pikirannya.

Mereka beristirahat di sebuah dataran sempit. Lyra menyalakan api kecil. Alden berjaga di atas batu tinggi.

Kaelen duduk menjauh. Kepalanya tertunduk.

Dan saat ia memejamkan mata, Serina muncul di hadapannya. Tapi kali ini ia tidak seperti ilusi. Ia tampak hidup. Napasnya hangat. Matanya basah.

“Kaelen... aku tidak pernah marah padamu,” katanya.

Kaelen tak menjawab. Tubuhnya membeku.

“Aku tahu kau lupa. Tapi aku tidak datang untuk menyalahkanmu. Aku datang untuk mengingatkan.”

Kaelen menggertakkan gigi. “Kau tidak nyata.”

Serina mendekat. “Kau benar. Aku tidak sepenuhnya nyata. Tapi bukan berarti aku bohong.”

“Ini ilusi. Tipu daya Volcair.”

“Volcair hanya membuka pintu. Aku... adalah yang menunggu di baliknya.”

Kaelen beranjak berdiri, marah dan ketakutan bersatu. “Mengapa sekarang? Mengapa di saat aku... hampir utuh kembali?”

“Karena kau tidak utuh, Kaelen.” Serina menyentuh dadanya. “Dan kau tidak akan pernah utuh... sebelum kau terima semua bagian dirimu. Termasuk yang sudah kau lupakan.”

Lyra memperhatikan Kaelen dari kejauhan. Ia melihat bibir Kaelen bergerak seolah berbicara, tapi tidak kepada siapa pun.

“Ada yang aneh,” bisiknya pada Iresa.

Iresa mengangguk. “Volcair sedang menguji dia. Yang tidak kuat... akan berbicara dengan orang mati dan mulai percaya itu kenyataan.”

“Dan kalau dia percaya?”

“Maka tubuhnya akan tetap bersama kita... tapi jiwanya akan terkunci di dimensi lain. Ia akan jadi cangkang.”

Lyra menatap Kaelen lebih lama. “Kalau begitu aku akan menariknya kembali sebelum itu terjadi.”

Dalam pikirannya, Kaelen mulai berjalan bersama Serina di jalan yang familiar—jalan menuju hutan tempat mereka dulu sembunyi dari patroli Ordo. Tapi saat ia melihat kembali, tanahnya terbuat dari darah. Pohonnya bukan kayu, melainkan tulang yang bergerak pelan seperti bernafas.

Serina berhenti. “Kau lihat? Ini bukan mimpi. Ini apa yang tinggal setelah semua yang pernah kita alami hilang.”

“Kenapa aku harus lihat ini?” Kaelen mendesis.

“Karena kau harus memilih, Kaelen. Terus melangkah ke depan... atau hadapi semuanya dan ambil kembali dirimu yang hilang.”

Kaelen menggertakkan gigi. “Aku tidak bisa terus kehilangan setiap kali aku mencoba menyelamatkan orang. Kalau harga kekuatanku adalah aku sendiri... maka aku lebih baik—”

“Tinggalkan semuanya?” Serina memotong, suaranya dingin. “Kau tidak seperti itu. Bukan dulu. Bukan sekarang.”

Kaelen menatapnya dengan amarah, tapi juga kesedihan. “Lalu apa yang harus aku lakukan?”

“Terima aku. Bukan sebagai rasa bersalah... tapi sebagai bagian darimu. Aku bukan luka. Aku adalah bukti bahwa kau pernah mencintai.”

Tiba-tiba, dunia gelap.

Kaelen jatuh ke dalam ruang kosong. Dan suara Serina terakhir kali terdengar seperti bisikan dari kejauhan.

“Lepaskan rasa bersalahmu... dan kau akan kembali.”

“Kaelen!”

Suara Lyra menyentaknya. Ia tersadar, tubuhnya berkeringat dingin.

Lyra mengguncang bahunya. “Kau bicara sendiri selama hampir satu jam. Kami hampir kehilanganmu.”

Kaelen duduk dengan lemas. Nafasnya tersendat. Tapi ada air mata di sudut matanya. Ia menatap Lyra dan berkata, “Aku lihat dia.”

“Serina?”

Ia mengangguk. “Tapi kali ini... aku tidak menyesal melihatnya.”

Lyra memegang wajahnya. “Kau kembali.”

Kaelen menarik napas panjang. “Tidak sepenuhnya. Tapi untuk pertama kalinya... aku tahu ke mana aku harus kembali.”