The Shattered Light-Chapter 185: – Senyap Sebelum Badai

If audio player doesn't work, press Reset or reload the page.
Chapter 185: – Senyap Sebelum Badai

Langit di atas Volcair mulai berubah warna. Awan bergulung perlahan, bukan karena angin, tapi karena sesuatu yang lebih dalam—lebih kuno. Dunia seolah menahan napas. Di bawah langit kelam itu, Kaelen berdiri menghadap utara, di mana Ordo Cahaya membangun markas terakhirnya.

Angin membawa aroma besi, darah, dan arang. Seperti tanda bahwa dunia tahu perang akan pecah.

“Berapa orang yang kita punya?” tanya Kaelen, suaranya berat.

Alden membuka gulungan peta kasar yang dicoret-coret dengan bara hangus. “Tiga ratus lima puluh orang yang bisa angkat senjata. Seratus dua puluh luka ringan. Dua puluh lima... tidak bisa ikut bertarung, tapi menolak pergi.”

Kaelen menatap ke bawah. “Dan mereka semua masih percaya padaku?”

Alden menatapnya. “Bukan percaya, Kaelen. Mereka memilih mengikutimu. Karena kau adalah satu-satunya yang tidak menyerah.”

Lyra masuk ke tenda, rambutnya basah karena kabut yang memadat seperti hujan beku. Ia membawa laporan dari pengintai.

“Mereka bersiap. Pasukan Ordo sudah memblokir tiga jalur masuk ke kota suci. Tapi ada celah... di bawah kuil kuno yang dulu pernah kita datangi bersama Eryon.”

Kaelen menarik napas dalam. “Kuil tua yang runtuh setengah itu?”

“Ya. Terowongan di bawahnya belum ditemukan mereka.”

Iresa, yang berdiri di pojok tenda sejak awal, berkata lirih, “Kalau kalian pakai jalan itu, kalian hanya punya satu kesempatan. Tapi sekali masuk... tidak bisa keluar mundur. Itu bukan tempat untuk orang yang ragu.”

Kaelen menatap peta lagi. Tangannya menggenggam pedang tua yang dulunya milik Varrok. Besi di gagangnya terasa hangat, seolah mengenali tekadnya.

“Kalau begitu kita tak boleh ragu,” katanya akhirnya.

Malam itu, api unggun dinyalakan tanpa nyanyian. Tak ada minuman keras. Tak ada perayaan.

Hanya senyap, dan suara bisikan.

Kaelen berjalan di antara pasukan. Beberapa menyentuh bahunya. Beberapa hanya menunduk menghormati. Tak satu pun minta jaminan hidup. Mereka semua tahu besok bukan tentang menang atau kalah... tapi tentang makna.

Di sisi perbukitan, Lyra duduk sendirian. Tangannya memegang liontin kecil milik ibunya. Ia menatap Kaelen saat mendekat, dan tersenyum kecil.

“Aku masih belum terbiasa melihatmu diam lebih dari sepuluh menit,” katanya.

Kaelen duduk di sampingnya. “Kalau aku mulai bicara sekarang... aku mungkin tak bisa berhenti.”

Lyra menyandarkan kepalanya ke bahu Kaelen. “Aku tidak akan bertanya apa yang kau pikirkan. Tapi aku ingin tahu satu hal.”

“Apa?”

“Setelah semua ini berakhir... kau masih ingin hidup?”

Pertanyaan itu menusuk lebih dalam dari yang Kaelen kira. Ia tidak menjawab segera. Tapi akhirnya ia berkata pelan, “Aku ingin... tapi aku tidak tahu apakah aku masih bisa.”

Lyra menutup mata. “Kalau begitu... aku akan mengingatkanmu.”

Menjelang tengah malam, Iresa menghampiri Kaelen diam-diam.

“Aku harus pergi setelah ini,” katanya.

Kaelen menatapnya tajam. “Kenapa?”

“Aku bukan pejuang. Aku sudah cukup melanggar aturan netralitasku untuk membimbingmu. Tapi jalur berikutnya... adalah jalurmu sendiri.”

Kaelen berdiri. “Kau tahu apa yang akan terjadi di sana, kan?”

Iresa tersenyum pahit. “Aku tahu. Dan karena itu, aku ingin memberimu satu hal terakhir.”

Ia menyentuh dahi Kaelen. Sekilas, Kaelen melihat pantulan dirinya dalam genangan hitam: tua, berlutut, dengan tangan gemetar memegang ingatan yang tidak lagi utuh.

“Gunakan rasa sakitmu sebagai pelindung. Tapi jangan biarkan itu jadi topengmu,” bisik Iresa. “Karena kalau kau memakai topeng terlalu lama... kau akan lupa wajahmu sendiri.”

Lalu ia pergi, menghilang dalam kabut.

Saat fajar belum sepenuhnya menyingsing, Kaelen berdiri di depan pasukan.

Matahari yang malu-malu memantul di baju besi mereka. Tidak semua senjata mengilap. Banyak yang tua, berkarat, atau tambalan dari reruntuhan. Tapi tangan-tangan yang menggenggamnya... teguh.

“Banyak dari kita akan jatuh hari ini,” kata Kaelen dengan suara lantang. “Mungkin aku. Mungkin kalian. Tapi kematian bukanlah akhir dari cerita ini.”

“Ordo Cahaya ingin kita percaya bahwa hanya mereka yang berhak menulis masa depan. Tapi kita di sini untuk membuktikan... bahwa mereka salah.”

Ia berhenti sejenak, menatap satu per satu wajah yang telah bertarung bersamanya sejak awal.

“Dan kalau aku tidak kembali... jangan cari aku. Bangunlah dunia baru, yang pantas untuk dikorbankan.”

Hening. Lalu satu suara berseru:

“Untuk Kaelen!”

Kemudian seruan lain mengikuti. Bergema. Menggetarkan lembah.

“Untuk Serina!”

“Untuk Varrok!”

“Untuk dunia yang kita inginkan!”

Kaelen mengangkat pedangnya. Dan mereka mulai bergerak.

Ke arah kuil tua.

Ke arah terowongan gelap yang akan membawa mereka tepat ke jantung benteng musuh.

Dan ke arah sejarah yang belum selesai ditulis.