The Shattered Light-Chapter 186: – Terowongan Tulang dan Dinding Dendam
Langkah-langkah mereka bergema dalam lorong batu yang lembab. Kaelen berjalan paling depan, obor di tangan kirinya, pedang di tangan kanan. Di belakangnya, Lyra, Alden, dan tiga puluh pejuang terbaik menyusuri terowongan tua yang pernah runtuh, dibangun jauh sebelum Ordo Cahaya mengklaim kota suci.
Batu-batu dindingnya basah, dan sesekali dari sela-sela bebatuan terdengar bisikan samar—entah suara air menetes atau sesuatu yang lebih gelap dari sekadar gema.
“Tempat ini... dingin seperti kematian,” gumam Alden, menyentuh dinding yang ditumbuhi lumut gelap.
“Ini memang makam tua,” jawab Lyra pelan. “Dulu digunakan para pelarian untuk sembunyi saat perburuan sihir besar.”
Kaelen tidak menjawab. Matanya terus lurus ke depan, tapi pikirannya melayang—bukan ke musuh, tapi ke kata-kata Iresa malam itu.
“Jangan pakai rasa sakit sebagai topeng.”
Tapi kalau bukan itu yang ia gunakan untuk tetap berdiri, lalu apa lagi?
Di sebuah tikungan sempit, Kaelen menghentikan langkah.
Ia menunduk. Di tanah, terdapat simbol kuno: segi delapan dengan garis silang di tengah. Simbol pelindung. Tapi juga simbol penyegel.
“Ini tempatnya,” katanya.
Alden menyipitkan mata. “Kau yakin? Ini hanya tumpukan batu.”
Kaelen memasukkan ujung pedangnya ke lubang kecil di tengah simbol. Dinding di hadapannya menggeram pelan... lalu retak, membuka seperti rahang tua yang lapar. Udara hangat menyembur keluar, berbeda dari dingin sebelumnya.
Lyra mundur setengah langkah. “Itu bukan angin biasa. Rasanya... seperti napas.”
Kaelen menoleh. “Di balik ini, ada jalan menuju jantung kota suci. Tapi kita tidak tahu apa yang mereka siapkan.”
“Lalu?” tanya Alden.
Kaelen menatap mereka satu per satu. “Yang mau mundur... ini kesempatan terakhir.”
Tak satu pun bergerak.
“Bagus.”
Ia melangkah masuk.
Lorong di balik celah batu ternyata lebih lebar. Tapi tidak lebih aman.
Dindingnya dihiasi ukiran kasar—bukan buatan manusia. Gambar makhluk-makhluk berjubah, bertanduk, dan tak bermata. Beberapa tampak menyembah cahaya. Beberapa... membakar diri sendiri.
Lyra membisik, “Ini bukan dari masa Ordo Cahaya.”
Kaelen menjawab, “Tidak. Ini dari masa sebelum mereka. Mungkin... dari mereka yang menciptakan cahaya itu.”
Suara langkah mereka kini diselingi bunyi gemeretak. Tanah di bawah penuh pecahan tulang.
Alden berlutut dan mengambil satu. “Ini... bukan hewan.”
“Para pengikut pertama,” kata Lyra. “Yang dikorbankan untuk menyegel kekuatan.”
Alden menatap Kaelen. “Kau yakin masih mau lewat sini?”
Kaelen menatap jauh ke ujung lorong. “Aku sudah terlalu jauh untuk mundur.”
Beberapa meter lagi, lorong terbuka ke ruang yang lebih besar. Di sana, dindingnya dilapisi cermin—retak, tua, buram. Tapi mereka masih bisa melihat bayangan mereka sendiri.
Lalu cermin-cermin itu... mulai berubah.
Kaelen melihat dirinya... tapi bukan seperti sekarang. Di dalam bayangan itu, ia berdiri sendirian, mengenakan jubah Ordo, dan menancapkan pedangnya ke tubuh Lyra yang tersungkur.
“Apa—” desisnya.
Lyra menjerit kecil. Cermin di hadapannya memperlihatkan dia... mengkhianati Kaelen. Menyerahkan peta ke Grandmaster Elvior. Wajahnya dingin.
Alden menatap cermin di sampingnya dan menyaksikan dirinya... membakar desa yang telah bersumpah ia lindungi.
“Itu bohong!” teriaknya.
Cermin tidak menjawab. Tapi suara dari kegelapan mulai berbisik.
“Kau bisa menjadi itu. Jika kau tidak hati-hati...”
Kaelen menghantam cermin di hadapannya. Kaca pecah, dan bayangan lenyap.
“Kita tidak punya waktu untuk keraguan,” katanya tajam. “Ini hanya ilusi. Bayangan dari ketakutan kita sendiri.”
Satu per satu, yang lain menghancurkan cermin masing-masing.
Hingga hanya tersisa satu.
Cermin itu retak separuh... dan tak menampilkan siapa pun.
Lyra menatap Kaelen. “Itu... punyamu juga?”
Kaelen menatap cermin itu lama. Lalu berkata pelan, “Mungkin... itu untuk bagian dari diriku yang sudah hilang.”
Ia menebasnya, dan lorong di belakang cermin terbuka.
Akhirnya, mereka sampai di ujung terowongan.
Tangga batu mendaki ke atas, menuju pintu rahasia di bawah altar kota suci.
Kaelen berbalik.
“Saat kita keluar dari sini... tidak ada jalan kembali.”
“Jalan ke depan saja,” jawab Lyra.
Alden mengangguk. “Dan kami akan bersamamu, apa pun yang ada di atas sana.”
Kaelen menatap mereka. Sekilas, ia melihat bukan pejuang. Tapi keluarga. Orang-orang yang tetap tinggal, bahkan saat dirinya tak utuh.
Dan justru karena itu, ia harus bertarung.
Ia menarik napas. “Baik. Kita keluar... dan buka halaman terakhir dari kisah ini.”
Dengan itu, mereka naik.
Menuju perang yang akan menentukan bukan hanya nasib dunia—tapi juga makna dari semua pengorbanan selama ini.